Tadi malam seorang kompasianer mengajak diskusi tentang koperasi. Ia bertanya apakah aku saat ini bergabung di sebuah koperasi? Apabila tidak tertarik, kenapa, dan sebagainya.Â
Diskusi ini sebentar dan santai, namun cukup menarik. Omong-omong masihkah Kalian tertarik jadi anggota koperasi?
Zaman dulu semasa sekolah, menjadi anggota koperasi itu diwajibkan. Ada iuran perbulannya, iuran wajib dan iuran sukarela. Aku lupa apakah aku dapat simpanan hasil usaha (SHU) atau tidak.Â
Waktu kuliah, aku sempat menjadi pengurus koperasi mahasiswa. Di sini aku mendapat wawasan menarik tentang perkoperasian, terutama tentang pengembangan usaha.
Waktu bekerja di sebuah kantor di Jakarta Pusat, namaku juga langsung dimasukkan ke koperasi karyawan. Iuran wajib dan simpanan wajib langsung dipotong dari gaji. Waktu itu ada banyak karyawan yang berutang ke koperasi. Alasannya, cicilannya tidak besar perbulannya dan bagi yang berutang maka dapat SHU yang lumayan besar.
Sesekali aku melongok ke ruangan koperasi. Di sana ada benda elektronik dan barang-barang lainnya yang dijual. Tapi rata-rata model lama sehingga aku tak tertarik.
Yang laris adalah usaha peminjamannya. Aku tak tahu alasannya kenapa pegawai lebih suka berutang. Tapi memang pada saat itu kami tak ditawari untuk menabung di simpanan sukarela. Jika disuruh memilih, menabung di koperasi atau di bank, aku juga sepertinya memilih yang nomor dua. Alasannya koperasi di tempatku bekerja dulu kurang transparan.Â
Aku tak tahu berapa besaran simpanan wajibku dan aku tak pernah tahu kapan RAT diadakan. Dengar dari pasangan yang masih bekerja di sana, beberapa pengelola koperasi dipecat karena ketahuan korupsi. Saat ini kata ia, RAT selalu diadakan dan besaran SHU-nya lumayan.
Kini sudah lebih dari setahun aku menjadi anggota koperasi di lingkungan tempat aku bekerja. Keanggotaan koperasi ini tidak wajib. Iuran dan simpanan wajibnya tidak besar, berkisar Rp 30 ribu per bulannya. Pada waktu mendaftar kami dikenakan biaya Rp 150 ribu.
Kenapa aku masih tertarik untuk mengikutinya? Adalah salah satu rekan kerja yang aktif mempromosikan koperasi ini. Ada beberapa fasilitas menarik selama menjadi anggota koperasi. Atas dasar pertemanan dan rasa penasaran, maka aku pun mendaftar. Toh biaya perbulannya juga tidak besar.
Setiap bulan aku dan teman-teman satu kantor menyetor ke rekanku itu yang kemudian ia setorkan ke koperasi secara manual. Ia kemudian memberi bukti penyetoran secara manual, yaitu lewat hasil cetak.
Aku pernah bertanya kenapa tidak dalam rupa buku tabungan saja atau kan jaman sudah canggih kenapa tidak bisa dicek secara online? Tapi aku tidak mendapat jawaban yang memuaskan, hanya diminta sabar.
Memang ada beberapa hal menarik selama bergabung di koperasi ini. Kawan-kawan yang memerlukan bantuan dana bisa dengan mudah mendapatkan pinjaman dana dengan total pengembalian yang disebutsebut lebih terjangkau daripada bunga bank.Â
Koperasi ini juga menerima simpanan sukarela. Besaran Rp 20 ribu pun diterima. Simpanan ini kemudian juga bisa diambil dengan maksimal separuhnya.
"Jika disuruh memilih, menabung di koperasi atau di bank, aku juga sepertinya memilih yang nomor dua. Alasannya koperasi di tempatku bekerja dulu kurang transparan."
Selain itu dengan menjadi anggota koperasi juga diberikan kemudahan dalam membayar uang muka untuk pembelian rumah, apartemen dan sebagainya yang bekerja sama dengan koperasi. Setiap anggota juga diundang ke ART dan mendapat bingkisan lebaran.
Aku baru kali pertama mendatangi ART dan memang seru. Tiap yang datang dapat goodie bag dan makan siang. Lalu ada begitu banyak hadiah doorprize, dari tempat makan, hingga kulkas, televisi, dan mesin cuci.Â
Walaupun aku tak mendapat sama sekali hadiah doorprize aku senang-senang saja melihat kehebohannya, apalagi melibatkan banyak kantor lainnya. Ketika kuintip besaran SHU aku tersenyum. Hanya belasan ribu karena aku hanya menabung sekitar Rp 20-70ribu/bulannya. Kawanku yang berutang dapat SHU lumayan. Tapi kalau dipikir-pikir jumlah SHU-nya yang besar juga merupakan uangnya sendiri dari bunga yang ia bayarkan.
Pada waktu puasa lalu kami juga mendapat bingkisan sembako seperti gula, minyak, sirup, dan kurma. Hahaha lumayanlah, nilainya tidak besar tapi menyenangkan.
Kalau Bisa Digital Akan Memudahkan
Selama ini aku mengeluhkan dengan prosesnya yang masih serba manual. Dari pendaftaran kemudian mengetahui jumlah tabungan saat ini semua dilakukan manual. Kami datang atau telpon ke koperasinya.Â
Untuk mendapatkan info-info tentang promo produk yang dijual koperasi serta info perumahan dan lain-lain juga harus datang langsung.
Dalam hati aku bertanya kenapa mereka tidak meminta kantor tempatku bekerja saja untuk membuat aplikasinya, siapa tahu oleh manajemen kantorku bekerja diberikan harga khusus. Jika tak punya dana untuk pengembangan aplikasi daring, setidaknya mereka juga memiliki website untuk memberitahukan profil, daftar produk dan daftar fasilitasnya.
Apabila ada aplikasi digital koperasi maka tiap anggota dapat mendaftar dan mengetahui besaran simpanan dan pinjamannya secara daring, tak perlu harus ke kantor koperasi. Bentuknya tak harus aplikasi mobile tapi juga bisa berbasis web. Yang penting praktis, tidak ribet, dan pastinya menjamin keamanan data pengguna dan transaksi.
Selain itu, mereka dapat berbelanja online produk koperasi dan mendaftar fasilitas seperti bantuan uang muka properti yang bekerja sama dengan koperasi. Sifat koperasi agak berbeda dengan bank dan jasa keuangan lainnya sehingga ia sebenarnya bisa tetap eksis asal tetap inovatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H