"Yang beginikah hidup? Begitu aku bertanya pada diriku sendiri. Hanya siklus upacara demi upacara. Atau hidup ini memang upacara itu sendiri? (tokoh aku dalam "Upacara" bertanya pada dirinya sendiri)
Bagi suku Dayak, upacara memegang peranan penting dalam kehidupan. Sejak mereka dilahirkan ke dunia, upacara demi upacara mereka lalui hingga maut menjemput mereka. Upacara itu merekatkan mereka dengan pencipta, juga ke alam lainnya, alam yang tak kasat mata, namun memiliki kaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Â
Adalah sosok aku yang merasa upacara demi upacara itu menyita sebagian waktunya. Ia telah mencicipi beragam upacara, upacara ngejakat ketika ia lahir; upacara tempong pusong saat tali pusarnya mengering, selanjutnya pada 40 hari usianya ia akan menjalani upacara ngenus. Upacara yang membawanya ke alam gaib, Anan La Lumut, merupakan perjalanan yang memperkaya batinnya. Ia menjalani 100 tantangan yang begitu berat dan hampir merengut nyawanya.
Ketika ia akhirnya kembali ke alam fana, ia merasa bersyukur. Tapi benaknya terus mempertanyakan makna upacara tersebut, benarkah upacara demi upacara tersebut dapat menolong kampung dan lingkungan sekitar tempat tinggalnya dari rongrongan orang asing yang terus membabati hutan dan meracuni gadis-gadis desa?
Tokoh aku telah mengalami berbagai penderitaan. Dua calon istrinya meninggal. Sedangkan desanya mulai mengalami perubahan dengan kedatangan orang-orang asing. Perubahan itu sebagian besar meninggalkan duka. Pohon-pohon mulai ditebang, gadis-gadis yang telah dinikahi secara adat kemudian ditinggalkan dengan bayi dalam kandungannya.
Saat ia mulai didesak untuk segera menikah, ia memikirkan banyak hal, termasuk masa depan. Batas-batas huma mereka semakin terdesak, banjir mulai lebih sering datang menggenangi huma sehingga mereka sering gagal panen. Tokoh aku kuatir mereka akan terus terdesak dan menjadi orang hutan,
---
Saya seperti menemukan harta karun ketika menemukan buku ini, "Upacara" karya Korrie Layun Rampan, sastrawan asal Samarinda. Buku ini diterbitkan kali pertama tahun 1978, kemudian menghilang, dan kembali dicetak oleh Dunia Pustaka Jaya pada tahun 2000. Buku ini kemudian diterbitkan oleh Grasindo pada tahun 2007 dan 2014.
Buku ini sebuah karya sastra yang luar biasa. Nuansa etniknya kental dan terasa magis. Membaca pengalaman sosok aku ini maka sebagai pembaca saya pun seperti ikut berkelana menyelami perjalanan batin dan merasai kehidupan suku Dayak di sekitar sungai Mahakam, yang terpencil pada saat itu.
Pembaca diperkenalkan dengan budaya masyarakat Dayak yang unik dan menggambarkan harmonisasi antara alam dan kehidupan sehari-hari. Mereka begitu menghargai alam dan menganggap burung gagak, rangkong, dan punai, sebagai dewa-dewa, dengan dewa tertinggi adalah Laleya. Ketika membaca bagian ini saya jadi merasa begitu sedih teringat akan nasib burung rangkong yang sekarang masuk satwa langka karena ditangkapi dan diburu oleh oknum.