Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Tantangan Baru Bermunculan, Upaya Makin Keras untuk Jaga Stabilitas Sistem Keuangan

25 Juni 2019   23:52 Diperbarui: 26 Juni 2019   00:23 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bank Indonesia turut berperan dalam menjaga SSK | Dokumentasi: Tribunnews.com

Lima tahun lalu sebagian pihak mungkin tak menyangka teknologi informasi (TI) begitu pesat perkembangannya sehingga melahirkan perkawinan antara industri keuangan dan TI yang akrab disebut fintech. Teknologi ini berkembang drastis dan kemudian seolah-olah menggantikan fungsi bank dan jasa keuangan lainnya, karena ada yang menawarkan penyimpanan dana, investasi, pembelian emas, hingga pinjaman daring. Apakah kiranya industri keuangan yang mengambil kue bank konvensional ini ke depan akan memiliki risiko yang berkaitan dengan stabilitas keuangan?

Dulu menabung di sebuah institusi tidak banyak pilihan, kalau tidak menyimpan dana di bank, ya di kantor pos. Ketika dewasa aku baru mengetahui beragam wadah untuk mendapatkan pendanaan di masyarakat, bisa berupa surat berharga negara, saham, reksadana, asuransi, deposito, tabungan, dan sebagainya. Institusi yang terlibat di antaranya perbankan, bursa saham, dan perusahaan asuransi. 

Seiring meningkatnya keuangan syariah, maka kemudian juga tumbuh perbankan syariah dan jasa keuangan berbasis syariah lainnya. Kemudian, Bank Indonesia sekitar lima tahun lalu mulai menggiatkan pembayaran nontunai yang sekarang makin digemari.

Kini setelah teknologi mobile berkembang, ada banyak hal seputar jasa keuangan yang berubah. Untuk menabung dan meminjam dana maka masyarakat tak perlu lagi menjadi nasabah sebuah perbankan. 

Mereka cukup membuka akun di sebuah fintech, maka tak lama dana pinjaman pun didapat, demikian pula dengan proses mendapatkan dana masyarakat, para fintech berlomba-lomba menawarkan fitur-fitur dan promo yang menarik agar mereka terus menambah dompet digitalnya.

Berdasarkan data yang dirilis web Bisnis (25/2/2019) transaksi digital menggunakan fintech tumbuh hingga 55% melampaui penggunaan layanan perbankan (41%) untuk pembayaran transaksi digital.     Dari fenomena ini aku kemudian bertanya-tanya, apakah perkembangan pembayaran nontunai dan  fintech yang begitu pesat ini bisa menjadi sebuah tantangan baru bagi Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas keuangan?

Aku yakin Bank Indonesia tanggap terhadap berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat. Bank Indonesia telah lahir sejak tahun 1953 dan selama lebih dari enampuluh tahun terus berupaya menjaga stabilitas keuangan negara.

Berbagai tantangan dihadapi. Krisis keuangan terbesar pernah dialami Indonesia pada tahun 1997-1998. Aku ingat pada masa itu harga bahan pokok melambung tinggi, nilai rupiah anjlok, inflasi yang tinggi, dan banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja. Pada saat itu Indonesia begitu bersusah payah bangkit dari krisis, dan terbukti bisa melaluinya.

Kemudian pada tahun 2008  terjadi krisis ekonomi global yang juga berdampak pada kondisi finansial di Indonesia, tapi tidak separah pada krisis moneter sebelumnya karena kondisi keuangan domestik di Indonesia sebenarnya baik-baik saja. Pada saat itu yang kuingat saham yang dimiliki perusahaan tempatku bekerja turun drastis, tapi untunglah porsi penempatan saham hanya sekian persen dari dana yang dikelola.

Bank Indonesia, Kebijakan Makroprudensial, dan Stabilitas Sistem Keuangan

Indonesia jelas tidak ingin kembali mengalami masa-masa gelap karena krisis keuangan. Pada saat itu perekonomian mengalami ketidakpastian. Namun, di satu sisi dinamika global dan perubahan di masyarakat sulit dicegah. Pada saat ini terjadi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok. 

Di Indonesia sendiri bisnis properti terlihat mulai jenuh sehingga beberapa pengembang mulai melakukan berbagai promo untuk menarik konsumen. Sedangkan di bisnis lain, seperti bisnis otomotif masih cerah karena banyaknya masyarakat yang tertarik menjadi rekan ojek daring dengan uang muka yang semakin terjangkau. 

Selain itu ada pertumbuhan pesat pembayaran nontunai, bisnis fintech yang mulai membayangi perbankan, terkesan stagnannya pertumbuhan industri keuangan syariah, persentase kepemilihan saham antara pihak asing dan pihak domestik yang masih belum ideal, dan sebagainya.

Begitu banyak aspek yang bisa membuka celah ancaman terhadap stabilitas keuangan negara. Untuk itulah kemudian Bank Indonesia melakukan inisiasi untuk mengeluarkan kebijakan makroprudensial, yaitu pengaplikasian prinsip kehati-hatian atas sistem keuangan dengan menjaga keseimbangan antara mikroekonomi dan makroekonomi. 

Tujuan utama dari kebijakan makroprudensial ini yaitu mencegah risiko sistemik dan menjaga stabilitas sistem keuangan. Yang diawasi bukan hanya lembaga keuangan, tapi juga interaksinya dengan masyarakat dan industri, sebagai pihak yang menyimpan dana dan mendapatkan penyaluran dana pinjaman.

Bank Indonesia turut berperan dalam menjaga SSK | Dokumentasi: Tribunnews.com
Bank Indonesia turut berperan dalam menjaga SSK | Dokumentasi: Tribunnews.com
Mengapa stabilitas sistem keuangan negara itu penting? Hal ini dikarenakan stabilitas sistem keuangan akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan karena adanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan alokasi sumber pendanaan bisa dikelola secara efektif dan efisien . Apabila sistem keuangan suatu negara stabil maka ia tidak akan mudah goyah terhadap tekanan global dan domestik.

Dalam hal menerapkan kebijakan makroprudensial ini Bank Indonesia bekerja sama dengan berbagai institusi seperti Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Keuangan terkait pajak, dan Lembaga Penjamin Simpanan. 

Berkaitan dengan fungsi makroprudensial ini BI mengeluarkan kebijakan seperti giro wajib minimum dan pembatasan kredit; melakukan analisis risiko dan pengawasan seperti sistem pendeteksi dini dengan berbagai indikator, interbank stress test, dan mengukur indeks stabilitas sistem keuangan, hingga melakukan pemeriksaaan.

Saat ini BI telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga stabilitas keuangan negara. Kebijakan makroprudensial juga selalu dievaluasi dengan memerhatikan tantangan baru, fenomena domestik dan global, serta kondisi yang ada di masyarakat. 

Saat ini fintech dan perang dagang dua negara adidaya menjadi sorotan, ke depan bisa jadi isunya berbeda. Kebijakan makroprudensial adakalanya diterapkan lebih akomodatif untuk mendorong pembiayaan ekonomi seperti mendukung usaha kecil dan menengah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun