Lima tahun lalu sebagian pihak mungkin tak menyangka teknologi informasi (TI) begitu pesat perkembangannya sehingga melahirkan perkawinan antara industri keuangan dan TI yang akrab disebut fintech. Teknologi ini berkembang drastis dan kemudian seolah-olah menggantikan fungsi bank dan jasa keuangan lainnya, karena ada yang menawarkan penyimpanan dana, investasi, pembelian emas, hingga pinjaman daring. Apakah kiranya industri keuangan yang mengambil kue bank konvensional ini ke depan akan memiliki risiko yang berkaitan dengan stabilitas keuangan?
Dulu menabung di sebuah institusi tidak banyak pilihan, kalau tidak menyimpan dana di bank, ya di kantor pos. Ketika dewasa aku baru mengetahui beragam wadah untuk mendapatkan pendanaan di masyarakat, bisa berupa surat berharga negara, saham, reksadana, asuransi, deposito, tabungan, dan sebagainya. Institusi yang terlibat di antaranya perbankan, bursa saham, dan perusahaan asuransi.Â
Seiring meningkatnya keuangan syariah, maka kemudian juga tumbuh perbankan syariah dan jasa keuangan berbasis syariah lainnya. Kemudian, Bank Indonesia sekitar lima tahun lalu mulai menggiatkan pembayaran nontunai yang sekarang makin digemari.
Kini setelah teknologi mobile berkembang, ada banyak hal seputar jasa keuangan yang berubah. Untuk menabung dan meminjam dana maka masyarakat tak perlu lagi menjadi nasabah sebuah perbankan.Â
Mereka cukup membuka akun di sebuah fintech, maka tak lama dana pinjaman pun didapat, demikian pula dengan proses mendapatkan dana masyarakat, para fintech berlomba-lomba menawarkan fitur-fitur dan promo yang menarik agar mereka terus menambah dompet digitalnya.
Berdasarkan data yang dirilis web Bisnis (25/2/2019) transaksi digital menggunakan fintech tumbuh hingga 55% melampaui penggunaan layanan perbankan (41%) untuk pembayaran transaksi digital.   Dari fenomena ini aku kemudian bertanya-tanya, apakah perkembangan pembayaran nontunai dan  fintech yang begitu pesat ini bisa menjadi sebuah tantangan baru bagi Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas keuangan?
Aku yakin Bank Indonesia tanggap terhadap berbagai perubahan yang terjadi di masyarakat. Bank Indonesia telah lahir sejak tahun 1953 dan selama lebih dari enampuluh tahun terus berupaya menjaga stabilitas keuangan negara.
Berbagai tantangan dihadapi. Krisis keuangan terbesar pernah dialami Indonesia pada tahun 1997-1998. Aku ingat pada masa itu harga bahan pokok melambung tinggi, nilai rupiah anjlok, inflasi yang tinggi, dan banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja. Pada saat itu Indonesia begitu bersusah payah bangkit dari krisis, dan terbukti bisa melaluinya.
Kemudian pada tahun 2008 Â terjadi krisis ekonomi global yang juga berdampak pada kondisi finansial di Indonesia, tapi tidak separah pada krisis moneter sebelumnya karena kondisi keuangan domestik di Indonesia sebenarnya baik-baik saja. Pada saat itu yang kuingat saham yang dimiliki perusahaan tempatku bekerja turun drastis, tapi untunglah porsi penempatan saham hanya sekian persen dari dana yang dikelola.
Bank Indonesia, Kebijakan Makroprudensial, dan Stabilitas Sistem Keuangan
Indonesia jelas tidak ingin kembali mengalami masa-masa gelap karena krisis keuangan. Pada saat itu perekonomian mengalami ketidakpastian. Namun, di satu sisi dinamika global dan perubahan di masyarakat sulit dicegah. Pada saat ini terjadi perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.Â