"Kami ini Jawa bukan, Manado tidak lagi," kata Toar, kakak Pingkan. Sarwono menimpali, "...Kalian berdua itu Indonesia Raya".
Kisah percintaan banyak disuka. Ramuan kisah romantis bisa dari mana saja. Di Indonesia, bumbu kisah percintaan bisa berasal dari perbedaan suku bangsa. Beda suku juga biasanya menyangkut perbedaan kultur dan agama. Isu inilah yang diangkat dari novel "Hujan Bulan Juni" karya sastrawan terkenal, Sapardi Djoko Damono. Novel ini telah difilmkan tahun 2017 dibintangi Adipati Dolken dan Velove Vexia.
Apabila Kalian merasa tak asing dengan judul novel dan film ini maka Kalian tak salah. Novel ini terinspirasi dari puisi yang juga berjudul sama dari pengarang yang juga sama, "Hujan Bulan Juni".Â
Puisi ini merupakan salah satu dari kumpulan puisi yang dirilis tahun 1994 oleh Grasindo. "Hujan Bulan Juni" lalu dipilih menjadi judul kumpulan puisi tersebut.
Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu
Saat ini telah memasuki minggu-minggu terakhir bulan Juni, bulan yang seharusnya sudah masuk musim kemarau. Akan tetapi hingga saat ini langit masih sering mendung dan beberapa kali hujan mengguyur.
Melihat cuaca Juni yang beberapa tahun ini masih dilanda hujan, aku jadi teringat dan ingin membaca novel pujangga terkenal ini. Apalagi waktu itu aku tak sempat menyaksikan filmnya.
Novel ini berpusat pada hubungan pria Jawa dan gadis campuran Jawa-Manado. Pria Jawa itu bernama Sarwono, dosen muda dan peneliti yang memiliki kulit sawo matang, sederhana, dan berupaya menutupi kondisi tubuhnya yang ringkih. Sedangkan gadis cantik berkulit bening dengan wajah memesona itu adalah Pingkan. Ia juga dosen muda dari fakultas berbeda. Sarwono sejak dulu mengincar adik Toar, sahabatnya, yang sama-sama dibesarkan di Surakarta.
Pada bab awal novel ini digambarkan situasi yang serupa dengan bait-bait dalam puisi tersebut. Sarwono yang merupakan dosen di Universitas Indonesia dan sedang beristirahat untuk memulihkan kesehatannya di Surakarta, terpaksa menuju Yogyakarta. Tenggat waktu penelitiannya bersama peneliti UGM telah dekat.
Pada saat itu ia memerhatikan bulan Juni tak biasanya. Juni yang dikenalnya kering kerontang, puncak kemarau. Panas terik di siang hari dan dingin pada malam hari.
Gerimis kemudian berubah menjadi hujan deras. Pada saat-saat ini ia melamunkan seseorang. Pingkan yang telah beberapa bulan ini pergi ke Jepang. Ia merasa rindu ini menyiksanya. Perasaan rindu yang meluap-luap inilah yang kemudian menginspirasinya menulis puisi yang kemudian dimuat di koran.
Cerita kemudian beralih ke kilas balik secara tidak runtut. Bagaimana Sarwono merasa tidak kuasa mencegah Pingkan pergi, bagaimana ia merasa cemas tak beralasan bahwa Pingkan akan meninggalkannya, dan bagaimana hubungan mereka sebenarnya. Beberapa bagian cerita ditampilkan dalam sudut pandang Pingkan.
Novel ini tidak panjang, hanya 135 halaman. Ceritanya mudah dicerna, sehingga tak sampai dua jam aku sudah selesai menamatkannya.
Menurutku bagian yang mirip dengan cerita di puisi hanya bagian awalnya. Perasaan rindu Sarwono dan juga situasi hujan di bulan Juni. Lainnya fokus di hubungan romantis Pingkan dan Sarwono sejak keduanya dekat sebagai mahasiswa dan hingga Pingkan ditugaskan ke Jepang.
Perbedaan kultur dan karakter keduanya diketengahkan di novel ini. Sarwono digambarkan sebagai jawa jadul dari segi penampilan dan pemikirannya, sementara Pingkan wanita yang bebas dan modern. Ia merasa tak punya akar, karena ia tidak merasa sebagai Jawa, dan hanya tahu sedikit kultur Manado dari ayahnya. Cerita keduanya ini dikulik dengan beragam bumbu lainnya agar lebih dramatis.
Sebenarnya aku berharap lebih pada novel ini. Bukan sekedar cerita romantis yang berkesan cengeng. Apalagi ketika kuketahui ceritanya berlatar waktu sekarang, sekitar tahun 2015-an, di mana alat komunikasi sudah maju sehingga perasaan rindu mudah terobati. Akan lebih pas jika latar waktunya sekitar tahun 90-an atau lebih mundur.
Perbedaan kultur kurang tereksplorasi. Beberapa orang dekatku menjalani hubungan dengan orang Manado. Kultur dan pemikiran mereka beberapa di antaranya berlainan dengan orang Jawa. Ada stereotipe yang melekat untuk orang Jawa dan orang Manado. Tapi meski berbeda, banyak di antaranya yang berhasil menjalin hubungan. Di novel ini kurang tergali perbedaan kultur ini.
Aku merasa kurang puas dengan novel ini. Yang patut kuberikan apresiasi adalah beberapa puisi indah yang ada di novel ini serta penutup kisahnya yang tak biasa.
Aku malah penasaran akan filmnya. Ketika melihat trailer-nya, sinematografi dan pewarnaan filmnya keren. Velove nampak cocok sebagai Pingkan karena ia juga blasteran Jawa-Manado. Sedangkan Adipati Dolken kulitnya nampak digelapkan agar terasa kontras dengan Velove.
Detail Buku:
- Judul: Hujan Bulan Juni
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Genre : Novel, Percintaan
Tahun Terbit: 2015
Skor : 7/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H