Bincang-bincang masalah pengelolaan keuangan pribadi itu menyenangkan, asal tak memaksakan produk keuangan tertentu. Kini masalah investasi masih ramai dibahas, termasuk di media sosial. Rupanya banyak yang merasa terlambat berinvestasi. Jika Kalian merasa terlambat, jangan bersedih, yang penting memulai.
Dulu aku dan kawan-kawan eks kuliah ketika berkumpul biasanya bahas seputar investasi apa yang kiranya menguntungkan dan sebaiknya dihindari. Bahasannya santai dan serius. Dari obrolan itulah aku mengenal reksadana dan kemudian memberanikan diri untuk menjajal berinvestasi di saham.
Sebelumnya aku hanya dijejali teori. Waktu itu belum banyak situs yang memberikan informasi seputar teknis berinvestasi, sehingga berinvestasi di reksadana atau terjun langsung di bursa saham rasanya hanya di angan-angan. Kelihatannya susah dan berisiko karena tidak diberitahukan bagaimana cara memulainya dan cara kerjanya secara praktis.
Yang sering ditawarkan oleh bank biasanya hanya tabungan berjangka, deposito, dan unit link. Waktu itu banyak kawanku yang termakan dengan unit link tanpa tahu banyak cara kerjanya. Ujung-ujungnya pada tahun kesekian mereka kebingungan karena nilai investasinya tak seperti yang dijanjikan. Hal ini dikarenakan produk investasi tersebut merupakan gabungan investasi dan asuransi.
Pada pertengahan 2000-an info investasi masih minim. Obligasi yang ditawarkan pun rasanya susah dijangkau karena sistemnya masih berdasarkan pemesanan secara manual dan cepat sekali habisnya.
Dari hasil kumpul-kumpul serius santai itulah aku banyak dapat ilmu tentang investasi. Itulah enaknya punya kawan yang bekerja di berbagai latar pekerjaan karena kita bisa ketularan ilmu dari mereka.
Pada saat itulah aku merasa terlambat berkenalan dengan reksadana. Dulu ketika ingin membuka deposito harus sabar menabung sebesar Rp 5 juta dan membeli materai, tapi dengan reksadana aku bisa berinvestasi dengan besaran minimal Rp 100 ribu.
Praktiknya juga mudah. Tinggal membuka rekening dan mengisi data untuk mengetahui tingkat risiko yang bisa kita antisipasi. Apabila jantungan lihat nilai yang fluktuatif maka biasanya tidak disarankan untuk memilih reksadana saham. Aku sendiri karena konservatif lebih memilih reksadana pasar uang dan pendapatan tetap.
Waktu itu merasa menyesal kenapa tidak mengetahui dan membuka reksadana sejak dulu. Ketika kemudian aku masuk kelas saham aku juga lagi-lagi merasa terlambat. Ada beberapa peserta yang merupakan anak kuliahan. Mereka sejak kuliah sudah diajari tentang investasi. Sehingga dengan modal di bawah Rp 1 juta mereka bisa memiliki reksadana dan saham. Duh aku merasa ketinggalan.
Teori tentang memilih saham memang lumayan banyak dan sebaiknya dikuasai, termasuk yang bersifat fundamental. Tapi praktik jual belinya ternyata juga tidak susah. Dengan Rp 500 ribu sudah bisa memiliki saham yang cukup bagus. Tantangan besarnya dalam melakukan jual-beli saham rupanya adalah emosi dan bagaimana melakukan pengelolaan risiko. Ilmu inilah yang menurutku paling utama dan paling susah dikuasai.
Tadi sore seorang rekan yuniorku bertanya-tanya tentang investasi. Ia ingin mengenal reksadana dan cara memulainya. Ia juga banyak bertanya tentang produk investasi lainnya, seperti emas dan sebagainya. Ketika kujelaskan cara-caranya, ia seperti diriku dulu. Ia agak menyesal tidak tahu dari dulu.
Kini semakin mudah mendapatkan informasi tentang berinvestasi. Namun biasanya banyak yang takut dan bingung untuk memulai. Mungkin ada baiknya perencanaan keuangan ini diajarkan ke mahasiswa dan karyawan sejak awal secara berkelanjutan. Dengan demikian budaya menabung dan berinvestasi lebih tertanam daripada budaya konsumtif. Lebih baik lagi jika ilmu investasi ini jika dikombinasikan dengan wirausaha, sehingga ketika modal cukup maka mereka juga tertarik untuk membuka usaha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H