Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kenapa Harus Mudik? Ada Suka dan Dukanya

2 Juni 2019   17:49 Diperbarui: 2 Juni 2019   17:57 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senangnya sudah dekat Malang (dokpri)

Buku "Lebaran di Karet" karya Umar Kayam tentang mudik itu cerdik membuat campur aduknya emosi. Antara sedih dan bikin geli. Di situ dikisahkan berbagai drama yang mewarnai niat untuk mudik. Hal ini membuat lahirnya pertanyaan, mengapa mereka ngotot untuk mudik?

Kenapa sih harus mudik waktu libur Idul Fitri? Apa tidak bisa diganti hari lain?

Mungkin pertanyaan serupa juga hinggap di benak sebagian orang. Kenapa mereka rela untuk bermacet-macet demi menuju kampung halaman. Belum lagi mereka yang nekat bersama anak istri menjelajahi puluhan hingga ratusan kilometer dengan roda dua. Teater absurd, kata Seno Gumira.

Aku dulu juga tak paham dengan kengototan itu ketika belum merasakan tinggal jauh terpisah dari keluarga. Mungkin sudah ada penelitian tentang hal ini, mudik bisa jadi ada kaitannya dengan tradisi, atau ada relasinya dengan psikologi manusia.

Manusia pada dasarnya suka bersosialisasi. Meskipun kemudian hidup merantau mereka memiliki akar berupa kenangan masa kecil. Kenangan bersama orang tua, keluarga besar, juga kawan-kawan masa kecil. Pada saat mudik itulah maka mereka bisa mencicipi romantika itu, mengingat masa lalu dan juga mengetahui kisah masa kini.

Padahal hampir selalu ada kemacetan, kenapa harus mudik? (dokpri)
Padahal hampir selalu ada kemacetan, kenapa harus mudik? (dokpri)

Mudik menurut Umar Kayam merupakan kegiatan solidaritas. Ia berfungsi mengembalikan rasa rindu pada sanak saudara, serta mengingat kembali akar sosial dan budaya.  

Lantas kenapa tidak bisa diganti bulan lainnya? Menurutku hal ini dikarenakan ada semacam kesepakatan yang tak tertulis bahwa pada bulan inilah mereka yang terpencar akan berkumpul. Pada saat lebaran atau hari-hari setelahnya mereka yang dulunya terpisah kemudian bertemu dan melepas rindu. Tradisi ini bisa berubah apabila 'kesepakatan' di antara anggota keluarga atau kelompok juga bergeser. Misalnya bertemunya saat akhir tahun.

Suka Dukanya Mudik

Ketika masih tinggal di Malang aku tak pernah merasai mudik saat lebaran. Rumah nenekku di sebelah rumah, sehingga aku tinggal mengetuk pintu saat keluarga besar berkumpul.

Ketika melihat berita di televisi atau di koran tentang mereka yang berjuang untuk mudik, aku tak habis pikir. Apalagi jaman dulu transportasi pesawat rasanya masih tak terjangkau, kereta api eksekutif juga begitu mahal.

Mereka rela untuk berdesakan di bus, kereta ekonomi, dan kapal laut demi bisa menuju kampung halaman. Yang penting terangkut, kenyamanan seolah-olah terabaikan.

Saat mudik bisa melihat sawah yang hijau (dokpri)
Saat mudik bisa melihat sawah yang hijau (dokpri)

Mereka yang berjibaku dengan kendaraan roda dua juga seringkali lalai akan keselamatan diri dan keluarganya. Aku terpekur ketika pembaca berita menyampaikan korban laka yang mencapai ratusan hingga seribu jiwa tiap tahunnya saat libur lebaran.

Untunglah masa-masa pahit mudik itu mulai berlalu. Pemerintah telah banyak melakukan pembenahan dari segi infrastruktur, memberikan beragam alternatif untuk mudik, dan banyak perusahaan yang menawarkan mudik gratis. Laka pun berkurang drastis. Pemudik bisa tiba dan kembali dengan lebih nyaman dan aman.

Aku sendiri baru mencicipi serunya mudik sejak berkuliah di Surabaya. Setiap jelang lebaran aku mulai merasai sebuah kegembiraan. Perjalanan sepanjang 2-3 jam itu menjadi sesuatu yang berbeda dibandingkan perjalananku pulang pada hari biasa. Bus, kereta, dan jalanan lebih padat dan ada euforia itu, kegembiraan akan bertemu kakak dan sanak saudara yang terpencar.

Kisah-kisah saat mudik menjadi semakin berwarna ketika aku ikut berurbanisasi ke Jakarta. Ada banyak suka dan duka kurasai saat menuju kampung halaman.

Untuk sukanya pastilah lebih banyak. Hal yang menyenangkan ketika dapat tiket pesawat atau kereta pada hari yang diinginkan. Syukur-syukur dapat tiket pesawat dengan harga yang tak mahal. Lumayan perjalanan jadi hanya memakan sekitar 1,5 jam, dibandingkan naik kereta yang belasan jam.

Senangnya sudah dekat Malang (dokpri)
Senangnya sudah dekat Malang (dokpri)

Cerita sukanya lagi pada saat menumpang mobil kakak untuk pulang. Kami mengalami kemacetan dan baru tiba di Malang 26 jam kemudian. Ada rasa lelah juga sukacita. Ketika kendaraan sudah mencapai Nongko Jajar, Kabupaten Malang maka mulailah rute yang agak ekstrem, jalur sempit yang berliku-liku. Namun pemandangan di sini memang sungguh indah. Perjalanan ini melelahkan tapi juga menyenangkan karena kulakukan bersama kakak.

Bagaimana dengan dukanya? Hahaha cerita duka itu berlalu menjadi sebuah kisah berkesan.

Aku ingat merasai kemacetan mudik dengan roda dua dari Surabaya ke Malang. Badanku kaku dan pegal selama empat jam perjalanan. Gara-gara lelah aku sepertinya tak menyadari sepatuku menyentuh knalpot. Ketika turun dari motor aku terhuyung-huyung. Sol sepatuku meleleh. Aku begitu sedih karena sepatu itu kesayanganku dan tak bisa kutemui lagi di toko.

Cerita lainnya soal perjuangan mendapatkan tiket kereta api. Kakakku membantuku mendapatkan tiket kembali ke Jakarta dengan mengantri sejak sholat Subuh di stasiun. Padahal loket baru dibuka sekitar pukul 07.00 WIB. Saat itu pembelian hanya bisa dilakukan di stasiun dan perjuangan mendapatkannya begitu keras.

Bisa berkumpul dan bermain bersama (dokpri)
Bisa berkumpul dan bermain bersama (dokpri)

Hari ini aku mulai mengepak pakaian,oleh-oleh kue kering, dan memeriksa kendaraan. Nanti malam aku akan melakukan perjalanan menuju kampung halaman pasangan. Aku berharap perjalanan akan berjalan lancar dan kucing-kucingku juga aman dan kenyang dijagai Pak Satpam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun