Sekitar pukul 02.30 dinihari aku terbangun. Terdengar dari jalan bunyi-bunyian dari benda-benda yang dipukul membentuk sebuah irama. Klotekan, namanya. Rombongan anak-anak asyik melakukan tradisi klotekan ini. Mereka memukul-mukul kentongan, botol, kaleng makanna, dan benda-benda lainnya membentuk rangkaian nada yang harmonis. Mereka pun membangunkan warga untuk bersiap sahur. "Sahuurrr...sahurrr...".
Saat itu masih masuk liburan sekolah sehingga anak-anak menikmati suasana bulan Ramadan dengan menjalankan tradisi klotekan. Aku masih merasai tradisi tersebut saat masih berkuliah dan bekerja di Surabaya.
Waktu Imsa' dan Subuh di Surabaya memang lebih awal daripada di Jakarta. Subuh di Surabaya sekitar pukul 04.00 sehingga pukul 02.30 dini hari kami biasanya sudah bersiap-siap untuk sahur. Adanya klotekan itu membuatku terbangun tanpa weker. Aku sangat terbantu dan kini aku merindui suasana tersebut.
Tradisi Ramadan berikutnya yang masih langgeng di berbagai daerah yaitu bergantian menyiapkan makanan takjil dan makanan berat untuk berbuka puasa di masjid. Hampir setiap warga mendapat giliran menyiapkan makanan secara bergotong-royong. Makanan tersebut bisa dinikmati siapapun, baik warga setempat yang berbuka puasa dan beribadah sholat Maghrib di masjid, maupun para musafir dan pengunjung dari luar kampung.
Tradisi ini masih berjalan, baik di lingkungan kampung halamanku di Malang, maupun di lingkungan tempat tinggalku saat ini di bilangan Jakarta Timur. Untunglah budaya gotong-royong ini masih terawat hingga kini.
Tradisi nyekar atau berziarah kubur juga masih banyak dilakukan hingga saat ini. Biasanya nyekar dilakukan saat sebelum puasa dan usai sholat Idul Fitri. Banyak yang memilih pulang kampung saat menjelang puasa untuk berziarah ke makam keluarganya.
Pesantren kilat juga merupakan tradisi yang berlaku di lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Sejak SD hingga aku berkuliah pernah mencicipi pesantren kilat, baik yang diadakan di sekolah maupun yang acaranya diselenggarakan di pesantren atau di masjid.
Biasanya pesantren kilat diadakan seharian penuh atau dalam beberapa hari. Kami mendengarkan kultum, praktik membaca Al-Quran, sholat berjamaah dan dilanjutkan kegiatan lainnya hingga waktu berbuka puasa tiba. Acara pesantren kilat kemudian dipungkasi dengan berjamaah menjalankan ibadah sholat tarawih.
Pengalaman unik kurasakan ketika mengikuti pesantren kilat tiga hari dua malam di sebuah masjid di Bangkalan, Madura. Sholat tarawih 20 rakaat di sana berjalan begitu cepat. Lebih cepat daripada yang biasa kutemui di masjid di Malang. Pada rakaat kedelapan akupun menyerah.
Kini kegiatan ini mulai diperketat dan ada pula yang melarang karena was-was akan terjadinya kesemrawutan di jalan. Menurutku kalau skala rombongannya kecil, tertib, dan jalan yang dilalui bukan jalan utama sebenarnya tidak mengganggu malah kehadirannya ditunggu.
Masih banyak lagi tradisi Ramadan yang sering membuat kangen. Di antaranya adalah apeman, yaitu membuat kue apem dan membagikannya ke tetangga; ater-ater yaitu membagikan makanan berat ke para tetangga, pawai menyambut Ramadan, dan parade bedug.
Ini adalah cerita tradisi Ramadan yang biasa kutemui di Malang, Surabaya, dan Jakarta. Bagaimana dengan tradisi Ramadan di kotamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H