Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Suatu Ketika di Lokalisasi Surabaya

1 Desember 2018   14:45 Diperbarui: 2 Desember 2018   15:59 2131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu kenangan penulis mengunjungi Dolly. Tiga di ujung kanan adalah penulis dan wakil dari yayasan penanggulangan AIDS. Pada saat itu para PSK ramah dan bersahabat (dokpri)

Seorang pria berkemeja dan berdasi mendekati mobil kami dan menyodorkan sebuah buklet besar seperti buku menu. Kuduga isinya daftar mereka yang bekerja di sana dan tarifnya.

Dulu ada pro dan kontra pada saat akan dilakukan penutupan (dok. Kompas.com)
Dulu ada pro dan kontra pada saat akan dilakukan penutupan (dok. Kompas.com)
Suasana ini berbeda dengan ketika aku menginap di penginapan tak jauh dari red district di Singapura. Saat sore menjelang malam suasananya juga berbeda, sama seperti di Dolly. Ada banyak rumah dengan kaca lebar memajang para kupu-kupu malam. Tapi banyak juga yang berdiri di pinggir jalan. Tidak ada pria berkemeja rapu yang mengajak para pejalan kaki atau mereka yang bermobil untuk melihat buku 'menu' .

Keesokan harinya aku mendapat wawasan berbeda di Makassar. Kami berjumpa dengan ODHA di RSU yang penampilannya tak ada bedanya dengan mereka yang sehat. Ia bercerita mendapatkan AIDS karena sering berganti pasangan dan tak menggunakan pengaman. Saat ini ia rajin mengonsumsi ARV dan memeriksakan diri secara berkala. 

Malamnya kami bertemu dengan dua PSK jalanan. Mereka nampak kagok ketika 'dipesan' hanya untuk diwawancarai. Masalah ekonomi dan minimnya ketrampilan tetap menjadi alasan.

Prostitusi Masa Kini Apakah Terkendali?

Dolly resmi ditutup tahun 2014. Lokalisasi yang eksis puluhan tahun itu telah tiada. Namun ada yang sangsi bagaimana pemerintah mengkontrol penyebaran AIDS di daerahnya karena prostitusi sebenarnya masih eksis meski tak terang-terangan. Ada yang menggunakan kedok spa atau pijat, adapula yang menggunakan ruangan khusus di hotel.

Suatu ketika aku tersasar masuk ke sebuah forum yang anehnya ada kategori yang isinya tentang hotel dan spa di berbagai daerah yang menawarkan jasa prostitusi. Di situ ada grup WA nya juga. Aku menggeleng-gelengkan kepala saja. Prostitusi juga ada di media sosial, seperti di twitter, facebook, dan instagram. Apakah mereka terdeteksi dan terkontrol? Entahlah.

ODHA berdasarkan Komisi Penanggulangan AIDS terbanyak pada tahun 2017 masih berada di daerah Papua, Papua Barat Jawa Timur dan DKI Jakarta. Namun bukan berarti daerah lain juga bebas ODHA.

Selama masih ada laki-laki hidung belang maka usaha prostitusi mungkin masih eksis. Pelakunya bukan hanya mereka yang sulit mencari ladang penghasilan tapi adapula yang memang ingin dapat penghasilan besar secara instan. 

Masalah mengkhawatirkan yakni memonitor penyebaran AIDS dan ODHA pada era digital karena sekarang mereka sulit terdeteksi. Selain itu biasanya hanya PSK yang dimonitor, mereka lupa dengan pengguna jasanya, para laki-laki hidung belang yang menularkan ke istrinya. Oh ya PSK dan penggunanya juga bukan selalu perempuan dan laki-laki, bisa sebaliknya, juga bisa jadi sesama jenis. 

Tugas pemerintah bakal makin sulit di era digital ini. Perlu kerja sama dari berbagai pihak untuk memonitor kawasan dan kalangan yang rentan terjangkit AIDS. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun