Hari itu ketiga kalinya aku berada di daerah Surabaya Barat. Pada sebuah tempat yang disebut red district-nya Surabaya. Suasana gang Dolly masa itu pada saat masih pagi dan ketika sore menjelang malam begitu berbeda. Aku melihat Surabaya dalam sisi yang berbeda.
Sekitar satu dekade yang lalu aku mendapat undangan dari sebuah yayasan penanggulangan AIDS untuk mengetahui tempat-tempat yang diduga menyebarkan AIDS dan upaya yang dilakukan Pemda untuk menanggulanginya. Tur dilakukan di dua daerah, Surabaya dan Makassar yang masa itu menjadi dua di antara daerah yang masyarakatnya banyak terjangkit oleh AIDS.
Tur kami diawali dengan berkunjung ke RSUD dr Soetomo yang memiliki bangsal khusus pasien AIDS. Di situ kami dijelaskan para ODHA (orang dengan HIV/AIDS) tidak perlu dikucilkan. Mereka tidak berbahaya seperti anggapan masyarakat awam. Bertemu mereka dan bersalaman tidak membuat pengunjung tertular.
Seorang dokter bercerita bahwa ODHA perlu dukungan mental dari keluarga dan sekelilingnya. Banyak yang drop dan kemudian enggan untuk rutin meminum ARV (antiretroviral). Masih ada stigma negatif di kalangan masyarakat bahwa AIDS adalah penyakit kutukan. Padahal, AIDS bukan hanya karena pergaulan bebas, namun juga bisa terjadi karena transfusi darah dan jarum suntik yang tidak steril (terkontaminasi dengan darah pasien yang terinfeksi). Pergaulan bebas di sini karena sering bertukar pasangan dan tidak menggunakan pengaman berupa kondom.
Aku mendapat ilmu baru. Dulu aku takut berdekatan dengan ODHA. Kini aku melihat mereka seperti pasien penyakit berat lainnya, ya meskipun aku masih tidak setuju untuk bagian pergaulan bebasnya.
Tujuan kami berikutnya ke gang yang populer di dunia hitam Surabaya masa itu, Gang Dolly. Dolly ini sebuah kawasan di Surabaya Barat tak jauh dari stasiun televisi di Surabaya. Jalannya memiliki gang-gang yang dihuni masyarakat biasa. Di gang-gang tersebut ada anak-anak dan orang tua seperti kampung pada umumya. Gangnya bersih dan asri. Bahkan ada yang pernah mendapatkan nominasi kampung bersih dan hijau (green and clean).
Ada rasa khawatir warga akan perkembangan mental anak-anaknya. Oleh karenanya ada sebuah aturan tak tertulis tentang jam bekerja kawasan "hiburan" tersebut. Waktu itu aku pernah ke daerah sini pagi-pagi hari untuk membuat artikel tentang kampung asri di Surabaya dan memang gang Dolly sepi, tidak ada penjaja, tidak ada kesan bahwa daerah inilah yang disebut daerah kelam di Surabaya.
Saat itu sekitar pukul 14.00. Kami melihat deretan rumah-rumah dengan kaca transparan lebar yang penghuninya mulai bersolek.
Rombongan kami diterima oleh seorang mantan mami yang kemudian "tobat" dan beralih menjadi aktivis anti AIDS. Ia beralasan trenyuh dengan nasib para PSK di sini. Ia bersama yayasan anti AIDS dan pemberdayaan perempuan kemudian mulai mengajarkan berbagai keterampilan kepada para PSK agar ketika kembali ke masyarakat, mereka memiliki keterampilan dan bisa mencari penghasilan dengan keahliannya. Ia ikut menyosialisasikan pentingnya para tamu menggunakan kondom.
Aku lupa nama-nama mereka, mantan mami dan penghuni panti tersebut. Mantan mami itu melanjutkan kisahnya, tak mudah meminta pelanggan menggunakan kondom. Beberapa penjaga memaksa tamu untuk mengambil dan memakainya. Tapi ketika di dalam kamar tentunya mereka tak bisa mengaturnya. Seorang PSK bercerita bahwa mereka sulit memaksa tamunya untuk menggunakannya, meskipun ada juga kawannya yang bersikap tegas, tak mau "melayani" apabila tak menggunakan kondom.
Bukan Hanya tentang Kesulitan Uang