Hawa di luar begitu gerah dan sinar matahari panas menyengat. Musim kemarau rupanya sudah menunjukkan gelagatnya. Setelah dua hari mengeksplorasi Jember, kami pun melanjutkan perjalanan menuju perbatasan Situbondo-Banyuwangi. Perjalanan berjam-jam menunjukkan tanda. Ketika pepohonan yang seperti tengah meranggas mulai bermunculan  menyambut kami, aku langsung tahu tujuan kami sudah dekat. Kami siap mengeksplorasi Taman Nasional Baluran.
Taman Nasional Baluran sudah lama masuk dalam daftar obyek wisata yang ingin kutuju. Akhirnya baru libur lebaran lalu aku berkesempatan jalan-jalan ke Taman Nasional yang dulu bernama Hutan Lindung dan Suaka Margasatwa ini.
Oh ya mobilnya oleh petugas dicek dulu. Jika mobil jenis sedan maka dicek dulu ground clearance dan jumlah penumpangnya. Mengapa begitu? Karena jalan sepanjang Baluran banyak yang rusak. Jika dipaksa bisa-bisa malah kendaraannya bermasalah. Apabila ditolak masuk maka ada mobil atau motor sewa pengganti.
Oke si Putih lolos. Sebelum berangkat kami pun melihat-lihat koleksi hewan yang sebagian dipajang dalam vitrin bak sebuah museum kecil. Ada ular, elang, kepala rusa, dan cerita sejarah Taman Nasional Baluran ini.
Taman Nasional Baluran ini punya kisah panjang dari hutan lindung dan suaka margasatwa. Apa ya bedanya? Kalau kubaca dari UU no 41 tahun 1999, perbedaan antara hutan lindung,suaka margasatwa, dan taman nasional itu terletak lebih pada fungsinya.
Hutan lindung lebih berfungsi untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Suaka margasatwa bagian dari kawasan suaka alam. Ia berfungsi untuk sebagai tempat hidup satwa khas atau hutan yang memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi. Sedangkan taman nasional merupakan hutan yang luas untuk pengawetan keanekaragaman hayati dan perlindungan alam.
Baluran diambil dari nama gunung, Gunung Baluran. Kisah taman nasional ini dimulai pada tahun 1930 ketika Direktur Kebun Raya Bogor, KW. Dammerman, Â mengusulkan Baluran sebagai hutan lindung. Dua tahun sebelumnya, AH. Loedeboer, seorang pemburu di kawasan Baluran menganggap daerah ini cocok sebagai tempat perlindungan satwa. Sejak ditetapkan sebagai hutan lindung, perburuan di daerah Baluran pun dilarang.
Nama Baluran selanjutnya resmi ditetapkan berubah menjadi suaka margasatwa pada tahun 1937 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan pada tahun 1962 oleh Menteri Pertanian dan Agraria RI. Kemudian, Baluran menjadi taman nasional pada tahun 1980 oleh Menteri Pertanian.
Taman nasional ini termasuk yang tertua dan memiliki biodiversitas yang tinggi, bersama-sama Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, TN Ujung Kulon, TN Komodo, dan TN Gunung Leuser. Seandainya pada tahun 1949 Perum Perhutani tidak menebang habis hutan alam murni tua pohon kesambi dan menggantinya dengan hutan jati maka keragaman hayati di Baluran akan makin lengkap. Sekarang hutan pohon kesambi tidak ditemukan lagi di Indonesia.
Usai berkeliling museum mini tersebut, si Putih siap tempur untuk melakukan off-road. Rupanya jalanannya memang banyak yang tak mulus.
Sepanjang jalan kami disambut oleh tanaman yang kering seperti meranggas. Kemudian di bagian tengah, kami mendapati kawasan evergreen. Di antara pepohonan yang nampak meranggas terdapat hutan yang tanamannya selalu hijau. Setelah melewati evergreen kami kembali melalui pepohonan yang seolah-olah meranggas.
Setelah menempuh jalan yang kurang nyaman, kami kemudian disambut monyet. Lho kok monyet? Bukan rusa atau kerbau liar?
Mereka berlarian setiap kali ada kendaraan mendekat. Tampang mereka itu seolah-olah cerdas, bisa menduga jika ada kendaraan berarti ada manusia dan bakal ada makanan.
Duh aku jadi was-was. Aku punya pengalaman beberapa kali kurang enak dengan monyet. Aku jadi was-was.
Monyet-monyet itu memandangku dengan penuh minat. Wah tas mba itu kayaknya penuh makanan enak, mungkin seperti itu pikiran mereka. Untung pasanganku tahu aku was-was dan melindungiku.
Foto bersama pohon itu wajib. Pohon sendirian itu mirip dengan yang ada di The Tree of Life. Warna rumput dan pepohonan yang kuning kecokelatan ini terasa magis. Indah dan eksotis, seperti sedang di bagian lain Nusa Tenggara Timur dan di Afrika.
Menurutku vegetasi, fauna dan iklim Baluran ini unik karena berbeda dengan daerah-daerah sekelilingnya. Pas jika ada yang menyebut Taman Nasional Baluran merupakan miniatur hutan-hutan di Indonesia, karena lengkap, ada hutan tropis, sabana, hutan mangrove, hutan payau, terumbu karang, dan sebagainya.
Senja dan Menginap Semalam di Baluran
Kami memutuskan menginap semalam di Baluran. Permalamnya murah hanya Rp 100 ribu. Pengalaman menginap ini sungguh berkesan hehehe, kami bisa merasakan suasana di alam liar. Cerita lengkapnya bisa disimak di sini.
Menjelang matahari terbenam satwa pun bermunculan di dekat sungai. Ada sekawanan rusa kemudian berganti dengan kerbau. Si kerbau lalu asyik berkubang. Burung-burung pun tak mau kalah ikut bermain air. Pemandangan yang syahduh.
Monyet-monyet kembali menjadi panitia penyambutan. Walah dimana-mana ada monyet ya hahaha.
Sebelum ke hutan mangrove kami bertemu petugas. Mereka sibuk membersihkan pantai dari dedaunan dan semacam ganggang yang terbawa ombak. Sayangnya sampah tanaman itu belum dijadikan pupuk.
Ketika kami berjalan-jalan dan bertemu dengan polisi hutan, kami diajak untuk melihat penangkaran banteng. Asyiiik. Sssttt... jangan berisik dan dekat-dekat ya, pesannya.
Bantengnya terpisah dari hewan lainnya dan dipagari. Jumlah bantengnya tidak banyak. Mereka nampak sedang bersantai. Banteng termasuk hewan yang dilindungi. Mereka sudah terancam punah.
Jadi di sini kami bertemu rusa, kerbau, banteng, merak dan eh ada juga elang yang melintas serta berbagai jenis burung. Untung kami tidak bertemu ular, ajag, dan macan.
Selama dua hari di Baluran kami mendapat santapan nikmat di kantin Savana Bekol. Makanannya nampak sederhana, berupa nasi pecel di hari pertama dan nasi tempe penyet pada waktu sarapan hari kedua ditemani pisang goreng.
Sambalnya nikmat. Tempe berpadu dengan sambal plus ikan asin serta terong bakar. Wah nikmatnya. Pisang gorengnya juga sedap. Pisangnya matang dan manis.
Harga makanan di kantin tidak mahal. Rata-rata Rp 37 ribu untuk dua porsi makanan dan minuman seperti teh dan kopi. Aku mencobai Kopi Savana yang merupakan racikan mereka sendiri.
Masih Banyak yang Belum Tereksplorasi
Rupanya Taman Nasional Baluran ini sangat luas. Namun, medannya tidak semuanya bisa dilalui oleh kendaraan. Masih banyak kawasan yang belum kujelajahi. Aku sedih ketika membaca berita ada kawasan hutan jati di Baluran yang terbakar. Moga-moga tidak ada lagi kejadian seperti itu terulang, kasihan vegetasi, satwa, dan penjaga Baluran, serta warga di sekitar dan yang melintas di lokasi tersebut.
Mungkin suatu saat aku akan kembali ke Baluran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H