Serombongan anak kecil yang tidak kukenal tiba-tiba masuk ke halaman rumah dan mengetuk pintu. Mereka mengucapkan salam dan kemudian kompak berkata,"Lik, galam gampil!" Itulah tradisi berburu salam tempel yang mulai memudar di kampung halamanku.
Berburu galak gampil itu seru. Tradisi ini hanya terjadi di lebaran. Semua anak kecil boleh melakukan salam tempel atau berburu angpau ini kepada orang yang tidak dikenal. Namun, dapat tidaknya angpau ini tidak bisa dipastikan. Besarannya pun juga tidak ditentukan, bergantung pada kondisi dan kemurahan hati tuan rumah. Pastinya kegiatan ini seru dan melatih keberanian. Tentang jumlahnya sih ya bergantung kesabaran dan kerja keras. Jika rajin menyambangi satu-persatu rumah ke tiap kampung dan bersilaturahmi ke saudara maka total pendapatan angpau bisa lumayan.
Salam tempel bisa didapat dari saudara dan tetangga
Di kampung halamanku, Malang, istilah salam tempel atau berburu angpau kurang lazim. Kami lebih suka menyebutnya galak gampil. Galak itu mudah marah dan gampil itu mudah. Arti galak gampil adalah mereka yang galak pada musim lebaran jadi mudah berbagi rejeki hehehe.
Galak gampil itu sangat menyenangkan bagi anak-anak. Biasanya sumber utama galak gampil adalah dari orang tua, paman/bibi, juga kakek/nenek. Mereka biasanya sudah menyiapkan amplop-amplop berisi uang. Semakin baik kondisi ekonomi saudara maka berbanding lurus dengan besaran angpaunya. Namun, ada juga sih yang pelit dan tidak sesuai prediksi. Seusai salaman ke saudara maka tak lama mereka pun akan membuka tas dan mengedarkan amplop-amplop berisi uang itu ke kami yang waktu itu masih bocah. Wah senangnya.
Target berikutnya aksi galak gampil adalah tetangga. Namun aku termasuk yang pemalu. Seumur-umur aku hanya pernah diajak berkeliling untuk berburu galak gampil sekali. Kami datang ke tetangga, kemudian salaman dan berbasa-basi sejenak. Lalu kami pun duduk manis sambil mencicipi hidangan hingga si tuan rumah membagikan uang seratus dua ratus perak. Angpau dibagikan maka kamipun pamit. Ya, kadang-kadang kami sekalian memasukkan permen ke saku kami.
Sepuluh tahun lalu masih banyak anak dari kampung lain nun jauh yang bersemangat datang ke rumah-rumah untuk berburu galak gampil. Gaya dan ritual mereka masih sama. Pantang untuk pulang dan keluar dari sasaran sebelum angpau di tangan. Jika dulu seratus duaratus maka sekarang nilainya antara lima sampai sepuluh ribu. Lumayan kan jika bisa 50 rumah. Seharian bisa dapat Rp 250-500 ribu rupiah hehehe. Sayangnya sekarang ada banyak pendatang di Malang sehingga mereka kurang paham akan tradisi ini. Anak-anak pemberani ini pun kadang-kadang harus gigit jari ketika si tuan rumah tidak tahu-menahu tradisi galak gampil ini.
Senangnya menyiapkan amplop salam tempel
Jika dulu aku dan kakak-kakakku pelaku galak gampil, kini giliran kami yang membagikan ke para keponakan dan anak-anak tetangga kami. Biasanya mereka yang berhak dapat galak gampil adalah mereka yang masih unyu-unyu. Hitungannya masih SD lah. Tapi ukuran ini kurang berlaku ke saudara. Sepupu atau keponakan yang sudah SMP dan SMA pun boleh-boleh saja diberi salam tempel. Mereka yang sudah dewasa pun sah-sah saja mendapatkannya.
Aku dan kakak perempuanku paling semangat menyiapkan salam tempel ini. Nilainya tak seberapa sih. Yang paling kami suka adalah membuat amplopnya. Kami membuatnya sendiri. Terkadang dari kertas poloa yang kami hias sendiri. Kadang-kadang kami membuatnya dari kertas kado.