"Sudah beli baju baru buat lebaran?" Aku bertanya ke kawanku. Ia menjawab akan membeli akhir pekan ini di mal Depok. Ia balik bertanya. Pasanganku sudah membelikanku baju batik lengan panjang di marketplace. "Wah apa tidak was-was ukuran bajunya tidak pas?" ujarnya.
Spot belanja lebaran sudah sepuluh tahun ini sedikit demi sedikit kualami bergeser. Jika dulu aku mengandalkan pertemuan fisik antara penjual dan pembeli untuk membeli barang, saat ini aku merasa sudah cukup nyaman dengan membeli sebagian kebutuhan lebaran secara daring.
Kenapa beli baju baru pas lebaran?
Aku tidak tahu darimana dan mulai kapan ada kebiasaan membeli hal-hal serba baru pada saat lebaran. Dari baju, sepatu, sandal, hingga tampilan rumah inginnya semua terlihat baru.
Waktu masih kecil Ibu hanya membelikanku baju baru pada saat jelang lebaran. Baju-baju lainnya aku dapat dari warisan baju milik kedua kakakku. Oleh karena pembelian baju baru hanya diperoleh saat jelang ramadhan, maka proses belanja ini kami lakukan dengan serius agar dengan bujet yang tersedia bisa beli baju beberapa potong.
Saat masih kecil Ibu menggiring ketiga anaknya untuk belanja baju ke kawasan Kayu Tangan, Malang yang juga disebut Pecinan. Masa itu ada banyak toko pakaian yang berjajar di bilangan tersebut. Dengan naik becak dari rumah, kami pun bersemangat berbelanja sejak pagi hari. Kami juga harus bersabar karena Ibu membelikan baju buat masing-masing dari kami. Ibu sendiri jarang membeli untuk dirinya.
Biasanya proses belanja itu tidak terjadi sekali, tapi beberapa kali karena kakak kurang suka dengan modelnya dan ingin pindah ke toko lain. Aku sih senang-senang saja ikut berbelanja karena di hari-hari biasa kami jarang main ke pusat perbelanjaan.
Ketika department store mulai marak di Malang, kami pun mencoba berbelanja di sana. Tapi, favorit Ibu tetap berbelanja di kawasan Kayu Tangan. Kebiasaan kami berbelanja ramai-ramai pun mulai pudar ketika kami sudah remaja. Aku lebih suka belanja sendirian atau bersama kakak di department store dan factory outlet dekat rumah.
Aku mulai malas belanja baju ketika mulai kuliah di Surabaya. Sejak saat itu aku merasa kebiasaan belanja baju saat lebaran tidaklah penting. Tahu bahwa putrinya sudah malas beli baju baru, maka ibuku berinisiatif membelikanku baju-baju yang bisa kupakai pada saat hari lebaran pertama. Kebiasaan malas belanja ini berlanjut hingga aku bekerja. Ibu pun kemudian membagikan kain agar bisa kujahitkan dengan model yang kusukai.
Belanjanya Mulai Pindah Tempat
Selain baju, kebutuhan lebaran yang biasa kupersiapkan adalah kue-kue kering dan hadiah untuk keluarga, seperti baju koko untuk ayah, juga hadiah untuk keponakan.
Akhirnya aku pindah ke ranah maya. Sebagian sih. Beberapa kue kering yang jamak seperti nastar dan putri salju, aku membelinya di marketplace terpercaya. Harganya masih wajar dan ketika tiba di tempat pun kuenya masih cantik.
Karena sandalku sudah jelek maka aku juga membelinya via daring. Untunglah ukurannya pas. Saat ini beberapa marketplace menyediakan jasa pengembalian barang untuk kategori fesyen seperti sepatu, sandal, baju, jika ukurannya tidak pas sehingga tidak perlu terlalu kuatir.
Mengapa aku mulai pindah belanja ke ranah maya? Yang pertama adalah praktis. Aku tidak perlu pusing untuk pergi ke mal kemudian bersesakan, antri bayar, dan terjebak kemacetan. Pada saat jam istirahat atau pulang kerja aku bisa berbelanja, tidak perlu mengorbankan waktu istirahatku.
Yang kedua aku bisa punya banyak pilihan, dari soal model hingga harga. Ternyata ada banyak kue kering dan kue-kue lainnya dengan harga wajar yang enak. Banyak sepatu dengan kualitas bagus yang harganya juga murah meriah.
Nah, agar tidak kalap belanja aku pun membuat daftar belanjaan. Setelah semuanya terpenuhi maka aku harus acuhkan semua pesan promosi tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H