Hari ini kantor mulai terasa sepi. Beberapa rekan kerja sudah mengambil cuti. Aku pun mengerjakan tugas-tugasku dengan lebih santai, tidak seperti hari-hari kemarin. Apalagi hawa liburan sudah mulai hadir. Pikiranku mulai terisi dengan persiapan jelang mudik.
Tahun ini aku merayakan lebaran hari pertama di kampung halamanku di Malang. Ini kali pertama kami berdua akan menggunakan kendaraan pribadi untuk mudik. Ada perasaan berdesir, apakah perjalanan kami bakal lancar atau malah harus menikmati kemacetan seperti yang dialami mudiker tiap tahun.
![Tahun lalu kami juga mengalami macet tapi waktu itu hanya sampai ke Subang (dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/07/jpeg-20170623-215826-1169109563-5b1943cbbde5754180172164.jpg?t=o&v=770)
![Biasanya kami mudik dengan kereta atau pesawat, tapi tahun ini terpaksa dengan kendaraan pribadi (dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/07/dalam-kereta-5b19461fcf01b466cc79a684.jpg?t=o&v=770)
Sayangnya karena kemarin-kemarin tugas kantor masih bejibun maka aku belum sempat menata barang-barang yang bakal kubawa. Aku juga belum menyetrika dan mengepack baju-baju. Tak apa-apalah masih ada waktu besok, aku menghibur diri.
![Rute ke Ngantang yang menantang dan harus super ekstra hati-hati (dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/07/jalan-keiting-pun-nyaman-5b19446abde5757c371b5043.jpg?t=o&v=770)
Kenapa Sih Harus Mudik?
Mengapa Kalian rela membongkar tabungan atau menggunakan tabungan hanya untuk mudik saat lebaran? Biasanya pertanyaan itu menyeruak. Ada sebagian pihak yang menyayangkan tradisi ini. Kenapa harus mudik dan bikin macet jalanan? Kenapa tidak diganti bulan-bulan lain?Â
Aku juga pernah bertanya seperti itu ke diriku. Mengapa sih harus mudik? Duitnya kan sayang, kalau pulangnya bulan lain maka harga tiket bisa murah.
Ternyata, mudik bukan hanya urusan duit. Mudik itu menyangkut urusan hati.
Aku baru mengalami mudik saat merantau kuliah di Surabaya. Sebenarnya dulu waktu kecil pernah juga mudik ke kampung halaman ayah di Indramayu, tapi tidak benar-benar pas lebaran.Â
Waktu kali pertama aku merasakan mudik, meskipun hanya Surabaya-Malang rasanya begitu senang. Melakukan puasa Ramadan tanpa sanak saudara rasanya ada yang kurang. Aku jadi merasa kangen rumah. Ketika melihat bus-bus penuh sesak dan jalan dari Pasuruan ke Malang ramai padat aku malah kegirangan. Aku merasa seolah-olah penuh perjuangan menuju kampung halamanku.
![Saat mudik dengan jalan berbeda dan melihat pemandangan baru memberikanku cerita baru (dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/07/bumiayu-5762c9c75a7b61c50a7b8aaf-5b194c7216835f36a1564432.jpg?t=o&v=770)
Pulang sebelum lebaran dan setelah lebaran juga berbeda. Aku pernah mengalaminya dan membandingkannya. Paling enak mudik beberapa hari sebelum lebaran karena bisa membantu Ibu menyiapkan hidangan lebaran. Pada saat hari H kami bisa bertemu sanak saudara secara lebih lengkap. Baru setelahnya dapat bertemu dengan sanak saudara yang lebih jauh dan kawan-kawan masa kecil.
Mudik membuatku ingat akan jejak masa kecilku dan akar diriku. Setiap perjalanan mudik juga memberikanku cerita baru.
![Bertemu dengan pick up ini di jalan membuatku tertawa geli (dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/07/truk-isi-babi-5762ca325a7b61e40a7b8aab-5b194d485e137322494eb7a2.jpg?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI