Suatu ketika aku keheranan melihat kawanku yang nasrani nampak kebingungan hendak membuka bungkusan makanannya saat kawan-kawan lainnya berpuasa Ramadhan. Ia tidak menemukan ruangan kosong. Aku menenangkannya. Santai saja, makan di sini juga tidak apa-apa kok. Ia masih ragu-ragu, tapi kemudian memutuskan untuk makan di pojok ruangan.
Aku beruntung dulu dan saat ini bekerja di beberapa tempat yang santai dalam urusan puasa. Maksudnya, kami santai saja jika rekan-rekan kami tidak berpuasa dan hendak makan siang di sekitar kami. Memang sih biasanya mereka segan dan memilih untuk makan di ruangan lain. Tapi seandainya mereka makan di ruangan yang sama pun tak masalah.
Kami sudah dewasa dan bukan anak-anak sehingga rasanya sulit membayangkan kami tergoda dan batal puasa hanya karena tergiur melihat teman kami makan. Kondisi puasa Ramadhan menurutku sama sajalah dengan ketika melaksanakan puasa sunnah Senin-Kamis.
Ada saja yang berpuasa sunnah secara diam-diam dan baru ketahuan ketika mereka menolak ditawari makanan, tapi mereka tidak menuntut untuk dihormati dan membuat yang tidak puasa salah tingkah dan tidak enak sendiri.
Alhasil kadang-kadang kami membawa bekal dan meminta ijin untuk memakannya. Jika pun ada ruangan kosong kami pindah ke sana. Tapi jika tidak ada dan kami makan di ruangan pun maka teman-teman pun memakluminya.
Intinya menurutku dan sebagian orang-orang di sekelilingku berpuasa itu ranah yang sangat pribadi antara manusia dan Tuhan. Tidak perlu menuntut banyak keistimewaan. Di tempat kerja sendiri sudah ada keistimewaan seperti jam kerja yang berkurang, itu hal yang wajar dan menyenangkan.
Tapi jika sampai menyulitkan kawan-kawan yang tidak berpuasa hingga mereka sulit untuk makan siang maka rasanya itu bukan sesuatu yang bijak. Bagaimana jika suatu saat kita di posisi seperti mereka?
Tak Masalah Warung Tetap Buka Seperti Biasa
Saat bulan Ramadhan, menurutku ujiannya bukan hanya lapar dan haus. Oleh karenanya aku merasa sedih sekaligus heran jika ada suatu daerah yang memaksa setiap warung untuk benar-benar tutup saat siang bulan Ramadhan dan hanya memperbolehkannya berjualan saat jelang waktu berbuka puasa. Apakah ditutup dengan tirai saja tidak cukup?
Aku melihat sendiri kawan-kawanku yang non muslim kesulitan untuk mendapatkan makan siang saat puasa. Akhirnya ada yang berinisiatif untuk patungan dan memasak untuk ramai-ramai. Yang bikin aku salut mereka juga mengajak kawan-kawan muslim yang berhalangan puasa untuk makan bersama. Aku juga beberapa kali diajak makan bareng oleh mereka saat sedang berhalangan puasa.
Saat ini kawan yang non muslim terbantu dengan adanya kedai fast food yang tetap buka selama puasa di dekat tempat kerja. Ada satu tempat yang ditutup dengan tirai bagi mereka yang makan. Kehadiran kedai tersebut sangat membantu karena bisa jadi teman yang kebagian memasak sedang sibuk bekerja. Adanya jasa pembelian dan pengantaran makanan secara online juga membantu kawan-kawan tersebut untuk makan siang.
Kenapa aku pro tempat makan untuk buka seperti biasa? Oleh karena aku pernah di posisi seperti mereka. Saat itu aku berhalangan dan merasa lapar. Naasnya aku tidak sempat membawa bekal. Ketika keluar mencari tempat makan, banyak yang tutup. Akhirnya aku harus puas dengan sebungkus roti.
Penjual makanan muslim yang buka seperti biasa saat ini kerap mendapat tuduhan mereka bersenang-senang mendapat uang dari hasil menggoda orang lain untuk membatalkan puasa. Persepsi ini menurutku kurang benar. Di satu sisi, mereka juga membantu kaum muslim yang sedang berhalangan dan sakit karena siapa tahu mereka tidak sempat dan tidak bisa memasak.
Yang kedua, niat berpuasa itu ada di diri masing-masing. Seorang muslimin/muslimat tetap bisa batal atau tidak berpuasa meskipun hanya berdiam di rumah dan tidak berkunjung ke tempat makan, siapa yang tahu? Penjual makanan sendiri juga perlu uang untuk menghidupi keluarganya.
Terkadang rasanya sebagian dari kita sulit untuk berempati. Bagaimana jika kita di posisi mereka? Apalagi sebenarnya puasa bukan hanya ada di agama Islam, tapi juga di agama-agama lainnya. Kami memiliki partner beragama Hindu yang rajin berpuasa. Beberapa kali kami bertemu untuk rapat dan ternyata ia sedang berpuasa. Ia tidak masalah kami makan minum di depannya.
Kawanku yang beragama nasrani berkata di agama mereka juga ada puasa dengan tujuan menunjukkan rasa syukur. Ada tiga jenis puasa yang bisa dilakukan mereka, puasa makan tapi diperbolehkan untuk minum, puasa tanpa makan dan minum, serta puasa dengan membatasi makanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H