Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ceritaku tentang Peringatan Hari Film Nasional

30 Maret 2018   15:59 Diperbarui: 30 Maret 2018   16:01 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada Belenggu dan film horor favoritku Kuntilanak (dokpri)

Sejak beberapa hari lampau, media sosial diramaikan dengan kicauan tentang hari film nasional. Wah bulan Maret memang spesial, pas disebut sebagai bulan seni nasional. Pasalnya pada bulan Maret ada dua hari erat kaitannya dengan seni, hari musik nasional yang jatuh 9 Maret dan hari film nasional yang diperingati hari ini, 30 Maret. Ada berbagai institusi yang memeriahkan hari film nasional, termasuk salah satunya Perpusnas RI yang terletak di bilangan Medan Merdeka, Jakarta Pusat.

Di antara Kalian mungkin ada yang bingung kenapa 30 Maret 1950 disebut sebagai  tonggak sejarah film nasional. Padahal jika dipikir-pikir, pada tahun 1926 sudah ada film hitam putih berjudul Loetoeng Kasaroeng. Dari tahun 1926 hingga sebelum Indonesia merdeka juga sudah lebih dari 10 film yang ditayangkan di bioskop. Ternyata alasannya, film-film sebelum tahun 1950 diproduksi oleh Belanda dan Jepang. 

Yang benar-benar merupakan karya sineas anak bangsa pertama  adalah Darah dan Doayang berkisah tentang long march prajurit dari Yogyakarta menuju Jawa Barat.  Nah, pada tanggal 30 Maret tersebut dilakukan hari pertama pengambilan gambar film perjuangan ini.   

Industri film naik pesat pada pertengahan tahun 1970-an hingga tahun 1990. Kemudian karena serbuan film impor maka film nasional sempat mati suri, yang tersisa di bioskop hanya film-film yang vulgar. Untunglah sejak kehadiran Kuldesak, Daun di Atas Bantal, kemudian Sherina dan Ada Apa dengan Cinta?, industri film nasional kembali bangkit. Sejak tahun 2013 film Indonesia yang diproduksi per tahun rata-rata lebih dari 100 film. Kini film Indonesia kembali mulai diminati. Hal ini terlihat dari film  Indonesia sepanjang Januari hingga Maret 2018 yang telah mencapai 12 juta penonton. Apabila diasumsikan pendapatan kotor adalah Rp30ribu/tiket maka industri film nasional telah meraup Rp360Miliar dalam triwulan 2018 ini. Nilai yang cukup besar dan menggembirakan bagi industri kreatif.

Di kota-kota kecil jarang ada bioskop, mungkin bisa dibuat mini teater atau ala layar tancap (dokpri)
Di kota-kota kecil jarang ada bioskop, mungkin bisa dibuat mini teater atau ala layar tancap (dokpri)
Namun, masih ada pekerjaan rumah bagi dunia film nasional. Rata-rata yang masih menjadi perhatian adalah kualitas cerita dan eksekusinya, orisinalitas ide, dan nilai kelokalan dalam sebuah film, juga tentunya keberadaan bioskop yang belum merata. Memang jumlah bioskop sudah lumayan banyak, tapi rata-rata hanya di kota besar. 

Di kota-kota kecil di pulau Jawa saja banyak yang tidak memiliki gedung bioskop, belum kota-kota kecil di luar Jawa. Jikapun tidak ada jaringan bioskop besar yang tertarik berinvestasi di kota kecil, maka bisa dibuat bioskop-bioskop alternatif dengan tarif tiket yang terjangkau atau juga bisa dibuat ala format layar tancap.

Pameran Mini Menyambut Hari Film Nasional di Perpustakaan Nasional RI

Sebelum menikmati nobar di mini teater Perpusnas RI yang terletak di lantai 8, aku asyik melihat-lihat koleksi DVD dan VCD film Indonesia original Perpusnas. Wah rupanya koleksinya lumayan bagus-bagus, banyak di antaranya merupakan film Indonesia yang berkualitas dan ada pula yang termasuk film kontroversial sehingga membuatku penasaran untuk meminjamnya.

Ada Belenggu dan film horor favoritku Kuntilanak (dokpri)
Ada Belenggu dan film horor favoritku Kuntilanak (dokpri)
Film-film Indonesia itu dibagi menjadi koleksi drama, horor, dan komedi. Film-film yang menurutku keren di antaranya Kala, Modus Anomali, Kuntilanak, 9 Naga, Fiksi, Perempuan Berkalung Sorban, Tanda Tanya, Di Bawah Lindungan Kabah, Soegija, Laura and Marsha, Ada Apa dengan Cinta 2?, 30 Hari Mencari Cinta, dan Belenggu. Ada juga koleksi film klasik Sinematek yang baru kali pertama aku mendengarnya, seperti Misteri Rumah Tua (1987), Santet (1988), dan Misteri Janda Kembang (1991).

Setelah acara nobar, baru deh aku melihat pameran mini di lantai dasar. Di sini aku terkagum-kagum dengan khasanah tentang film nasional yang dibagikan, meski tidak banyak sih.

Buku tentang film koleksi Perpusnas RI (dokpri)
Buku tentang film koleksi Perpusnas RI (dokpri)
Pengenalan sineas film Djaduk Djajakusuma, siapakah dia? (dokpri)
Pengenalan sineas film Djaduk Djajakusuma, siapakah dia? (dokpri)
Perpusnas RI punya koleksi buku baik berbahasa Inggris maupun berbahasa Indonesia dengan topik film. Buku-buku tersebut di antaranya Directors Tell The Story, My Life is  a Actor, Rindu Purnama,Andai Ia Tahu, Undang-undang Perfilman, Politik Film, dan Censorship of The Movies.  Para sineas perfilman nasional pun diperkenalkan, seperti Sjumandjaja, Christine Hakim, dan Djaduk Djajakusuma. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun