Aku bangkit dari kursi di ruang tunggu bandara Juanda. Aku berjalan mondar-mandir sambil berkali-kali melirik jam di ponsel. Aku menghela nafas lalu berhenti dan memandang dari balik jendela. Tidak ada bekas hujan di luar, hanya langit yang mulai terlihat gelap. Cuaca di sekitar bandara Juanda Surabaya ini berbeda dengan kabar yang kuterima dari pengumuman di kabin pesawat.Â
Hujan yang sangat deras sedang mengguyur kota Malang, rute tujuan pesawat yang kutumpangi dari bandara Soekarno-Hatta. Was-was dengan risiko mendarat dalam cuaca buruk, maka pesawat pun beralih rute ke bandara terdekat. Hingga lebih dari satu jam, belum ada kabar apakah pesawat akan kembali terbang ke Malang atau kami diberangkatkan dengan baik bus. Aku makin gelisah.
Hari itu bagiku hari yang buruk. Aku ingin cepat-cepat tiba di kampung halaman untuk menghadiri pemakaman paman. Rencanaku semula sekitar pukul 13.00 WIB sudah tiba di bandara Abdul Rachman Saleh, Malang. Akan tetapi karena cuaca buruk, maka rencana itu berubah. Hingga pukul 15.30WIB aku masih di bandara Juanda. Paman telah dimakamkan dan kakakku bolak-balik bertanya kapan pesawatku tiba di bandara Malang.
Akhirnya mendekati pukul 16.00 WIB ada kejelasan. Hujan badai di Malang sudah usai, cuaca sudah kembali terang. Mumpung masih sore, maka pesawat masih bisa mendarat di bandara Malang. Kalau sudah mulai gelap maka bisa jadi kami diberangkatkan dengan bus karena perangkat di landasan bandara Malang belum memadai untuk penerbangan pada malam hati.Â
Singkat kata, akhirnya sekitar pukul 17.00 aku sudah dijemput oleh kakak laki-lakiku. Terlambat empat jam dari jadwalku semula, tapi tidak apa-apalah yang penting happy landingdan aku masih bisa mengikuti acara tahlilan pamanku.
Selain cuaca buruk, Malang juga rawan aktivitas vulkanis dari Bromo dan Semeru. Suatu ketika saya mengalami jadwal penerbangan untuk keesokan hari dialihkan ke bandara Juanda karena bandara di Malang ditutup. Seingatku Semeru saat itu berstatus siaga. Yang bikin agak gondok, penutupan bandara itu tiga hari jelang pernikahan. Tapi itu kan bencana alam dan faktor cuaca yang sulit diperkirakan hahaha. Jadinya ya manut saja menuju Bandara Juanda, daripada tidak bisa tiba di rumah sama sekali dan melangsungkan pernikahan.
Kejadian-kejadian  berkaitan dengan cuaca selama terbang ini rupanya juga terjadi pada penerbangan yang saya alami berikutnya. Kami pernah mengalami delay cukup lama dari Depati Amir Pangkal Pinang, Bangka menuju Jakarta karena cuaca buruk. Pesawat juga pernah berputar-putar cukup lama sebelum kemudian mendarat di bandara Sam Ratulangi, Manado karena hujan yang begitu derasnya. Akhirnya aku menerima pasrah saja jika ada pengumuman delay dan rencana berubah gara-gara cuaca buruk. Hahaha nggak ada untungnya juga muka ditekuk-tekuk dan menggerutu selama cuacanya masih belum memungkinkan. Yang penting bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat.
Pesawat mengalami delay berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan PM 89 Tahun 2015 pasal 5 dikarenakan berbagai hal Yang pertama adalah faktor manajemen maskapai  seperti keterlambatan pilot dan ketidaksiapan pesawat udara. Faktor berikutnya adalah teknis operasional, misalnya antrian lepas landas atau mendarat. Faktor ketiga adalah cuaca, di antaranya petir, badai, kabut, asap, hujan lebat, angin kencang yang mengancam keselamatan penerbangan. Faktor terakhir adalah di luar ketiga faktor tersebut, seperti kerusuhan.
Lantas apa saja yang masuk cuaca buruk?
Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Udara Agus Santoso, ada beberapa ancaman cuaca yang dapat memengaruhi penerbangan. Yang pertama adalah petir dan/atau awan tebal. Satu atau kombinasi dua faktor tersebut dapat menyebabkan perbedaan tekanan udara. Yang terjadi kemudian adalah adanya angin kencang hanya di lokasi tertentu, yang bergerak cepat dari atas ke bawah, atau sebaliknya, dari samping atau bahkan putaran angin.Â
Faktor cuaca lainnya yang masuk cuaca ekstrem adalah angin topan. Biasanya angin topan juga disertai hujan deras, bahkan kadang dengan petir. Nah jika faktor cuacanya adalah aktivitas vulkanik seperti semburan debu vulkanik maka bandara harus ditutup. Hal ini dikarenakan debu sangat berbahaya bagi mesin pesawat terbang. Ia dapat masuk ke tabung pengukur kecepatan sehingga bisa tejadi kekeliruan pembacaan, debu vulkanik juga dapat menggores kaca kokpit, dan yang tersedot dalam mesin dapat merusak bilah turbin. Ooh makanya beberapa kali bandara Malang ditutup karena memang sangat berbahaya.
Oh ya tentang prosedur cuaca buruk atau cuaca ekstrem ini telah diatur oleh Dirjen Perhubungan Udara dalam Surat Edaran Keselamatan 16 Tahun 2017 tentang Peningkatan Kewaspadaan terhadap Kondisi Cuaca Ekstrem. Prosedur ini melibatkan stakeholder di antaranya maskapai penerbangan, pengelola bandar udara, dan AirNav Indonesia.Â
Ya apa boleh buat jika ada cuaca buruk, mending bersabar dan waktunya bisa buat menulis di blog hehehe. Memang sih waktu itu berharga tapi keselamatan lebih utama.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H