Biasanya aku kurang suka akan jajanan Jawa Tengah yang manis. Getuk Goreng ini berbeda. Rasa manisnya nagih. Teksturnya empuk, di beberapa bagian lainnya sedikit liat.Â
Aromanya manis dan rasanya memang legit. Aku mengunyahnya perlahan-lahan. Eh tak kusangka aku sudah menghabiskan seperempat wadah, yang isinya setengah kiloan.
Hari itu aku menguap lebar. Hawa liburan membuatku bekerja setengah hati. Bosan juga bekerja dan menulis, sementara yang lainnya liburan dan bersenang-senang.Â
Aku pun segera mengajukan cuti, mendadak sih, kemudian melancong menutup akhir tahun. Tujuan awalnya sebenarnya ke Kuningan, eh kemudian malah ke Banyumas dan Cilacap. Okelah, dua kota tersebut belum pernah kueksplorasi. Paling cuma singgah saat waktu ke Dieng kapan waktu. Nah, di Purwokerto yang merupakan ibu kota Banyumas, ada berbagai buah tangan yang bisa dibawa pulang. Salah satunya Getuk Goreng.
Getuk itu relatif mudah ditemui di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Wujudnya itu beragam. Ada yang berlapis-lapis dengan warna hijau pandan, merah muda, dan kuning disajikan dengan kelapa muda parut yang dikukus.Â
Ada pula yang berbentuk melingkar dengan bagian tengahnya diberi kacang tanah sehingga memberikan efek gurih. Ada juga getuk dari ubi jalar dimana rasanya berbeda dengan getuk dari ubi kayu alias singkong.
Getuk Goreng Sokaraja yang disebut asli dan pertama adalah Getuk Goreng Haji Tohirin. Resep jajan ini ditemukan oleh Sanpirngad pada tahun 1918 secara kebetulan.Â
Saat itu bapak mertuanya merasa sedih karena getuknya kurang laku, kemudian digorengnya. Eh ketika dijual malah laris manis. Ilmu memasak Getuk Goreng ini kemudian diwariskan ke menantunya dan saat ini merupakan generasi ketiga.
Karena rasanya manis, enaknya sih menyantap Getuk Goreng dengan teh tawar atau kopi hitam tanpa gula. Setiap gigitan membuatku terkenang akan perjalanan darat berjam-jam melewati Brebes dan Bumiayu sebelum tiba di Purwokerto, yang merupakan ibu kota Kabupaten Banyumas.