Proses menyelesaikan konflik dibahas dengan lambat tapi tidak terasa membosankan. Setiap detail dan setiap adegannya disajikan menarik.
Penonton disuguhi panorama Sumba yang landscape-nya berkelok-kelok, gersang sekaligus indah. Sinematografinya dari panorama yang dibidik maupun pengambilan gambarnya benar-benar memanjakan mata.
Dari segi skoring juga kaya. Senandung lagu dan petikan alat musik tradisional menegaskan nuansa khas Sumba.
Sedangkan dari sisi akting, hampir setiap pemerannya memberikan kontribusi, tak sekedar tampil. Marsha Timothy tampil total sebagai seorang janda yang tidak ingin pasrah begitu saja. Ia perpaduan sisi perempuan yang rapuh dan keberanian yang spontan untuk mempertahankan diri. Ia tampil luwes dengan dialek khas Sumba dan tidak cangung ketika menunggang kuda.
Pemeran lainnya seperti Egi Fedly si kepala perampok, Dea Panendra sebagai Noni, dan Yoga Pratama sebagai Franz, perampok yang mengejar Marlina, juga memberikan warna yang kuat pada cerita ini.
Adanya pembagian kisah menjadi empat babak ini unik, mengingatkanku pada sebuah pertunjukan teater. Film Marlina yang diproduksi Cinesurya bekerja sama dengan Kaninga Pictures ini semakin menguatkan ciri khas Nursita Mouly Surya yang selalu ingin bereksplorasi. Film karya Mouly bisa dibilang rata-rata unik. Aku menyukainya sejak ia menyutradarai film berjudul Fiksi yang mengisahkan seorang wanita muda yang ingin menuntaskan ide cerita yang dibagikan pria yang dicintainya dengan caranya sendiri.
Wah setelah melihat film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, bisa jadi film ini jadi kandidat peraih film terbaik, aktris terbaik, aktris pendukung terbaik, sinematografi terbaik, musik skoring terbaik, dan sutradara terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia tahun 2018.
Detail Film:
Judul : Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak