Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Dua Jam di Surakarta, "Ngliwet" dan "Nyerabi"

20 November 2017   23:02 Diperbarui: 10 Agustus 2019   13:41 2024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua jam di Surakarta bisa melakukan apa ya? Dari rencana awal melihat-lihat koleksi batik dan berburu jajanan tradisional untuk oleh-oleh di sekitar Pasar Klewer akhirnya berubah total karena pasar ternyata belum buka. Namun senyumku masih tetap cerah karena masih bisa mencobai sego liwet dan jajan serabi khas Surakarta.

Sudah lama tidak jalan-jalan ke kota Surakarta. Terakhir main ke Surakarta sekitar tahun 2015 dan itupun hanya numpang tidur untuk lanjut ke Jakarta. Jalan-jalan pun waktu itu hanya untuk mencari serabi yang konon terkenal dan paling enak di Surakarta.

Oleh karenanya ketika hari terakhir Danone Blogger Academy para peserta dibebaskan untuk eksplorasi kota Surakarta selama dua jam, maka kami pun bersorak gembira. Tapi waktu dua jam kira-kira bisa melakukan apa saja ya?

Dari hotel kami berangkat pukul 06.00 pagi dan tiba di kawasan Gladak, Surakarta, di dekat Alun-Alun Lor dan Benteng Vastenburg setengah jam kemudian. Duapuluh peserta memilih aktivitasnya masing-masing, ada yang naik becak berburu batik dan kue oleh-oleh, ada yang memilih melanjutkan tidur di bus, ada juga yang berjalan kaki menikmati suasana car free day.

Aku memilih jalan kaki bareng mba Ani Bertha menuju pasar Klewer. Sambil berjalan kaki kami melihat-lihat celengan dan mainan gerabah yang banyak dijajakan. Melihat koleksi mainan tersebut, aku jadi ingat masa kecil. Wah dulu aku senang banget jika dibelikan Ibu mainan masak-masakan seperti cangkir dan teko dari gerabah.

Jaman kecil dulu suka banget dibelikan mainan gerabah (dokpri)
Jaman kecil dulu suka banget dibelikan mainan gerabah (dokpri)
Kalau celengannya segede ini kapan penuhnya ya? (dokpri)
Kalau celengannya segede ini kapan penuhnya ya? (dokpri)
Aku melihat-lihat celengan gerabah yang ukurannya beragam. Ada yang bentuknya macan besar. Wah kira-kira perlu berapa lama ya menabung di situ hingga celengannya penuh? Jaman sekarang kayaknya lebih praktis menabung di celengan mungil, baru kemudian disetorkan di bank. Tapi menabung di celengan gerabah tetap bisa jadi alternatif menabung yang seru terutama bagi anak-anak.

Setiba di Mesjid Ageng Karaton Surakarta Hadiningrat kami berfoto sebentar, eh kemudian kami tertawa terbahak-bahak melihat Ibu-ibu senam di dekat masjid dengan iringan lagu dangdut yang sedang hits banget. Apalagi kalau bukan lagunya mba Via Vallen yang judulnya Sayang.

Sayang opo kowe krungu jerite atiku
 mengharap engkau kembali
 sayang nganti memutih rambutku
 ra bakal luntur tresnaku

Hemmm pasarnya belum buka (dokpri)
Hemmm pasarnya belum buka (dokpri)
Untung ada Kampung Batik yang buka sejak pagi, ada banyak batik di sini dan harus berani nawar (dokpri)
Untung ada Kampung Batik yang buka sejak pagi, ada banyak batik di sini dan harus berani nawar (dokpri)
Ketika tiba di Pasar Klewer kami kecewa karena pasarnya belum buka. Ya sudah kami pun menuju Kampung Batik. Rombongan yang awalnya terpecah ternyata berkumpul di kampung batik. Wah jadi ingat tahun 2009 aku juga berburu batik di kampung Batik baru kemudian ke Pasar Klewer. 

Sekarang kampung batiknya semakin banyak, hampir tiap rumah di kampung tersebut juga menawarkan produk batik, seperti pakaian formal, baju santai, dan kain batik. Di sini pembelinya harus berani nawar.  Wah mas-mas fotografer ternyata kalap belanja batik, tak mau kalah dengan peserta ibu-ibu.

Beberapa dari kami meneruskan jalan-jalan karena masih kurang sreg dengan batik yang ditawarkan. Siapa tahu ada penjual batik lain yang modelnya lebih beragam.

Kami mengambil jalan pintas lewat Mesjid Ageng Surakarta. Masjid ini memiliki arsitektur khas Jawa. Di kompleks masjid, anak-anak asyik bermain air di kolam wudhu. Ada pula yang sedang berlatih senam pernafasan.

Di dekat mesjid ibu-ibu asyik bersenam dengan lagu dangdut, tapi tak mengapa (dokpri)
Di dekat mesjid ibu-ibu asyik bersenam dengan lagu dangdut, tapi tak mengapa (dokpri)
Mesjidnya memiliki menara yang tinggi dan arsitekturnya khas Jawa (dokpri)
Mesjidnya memiliki menara yang tinggi dan arsitekturnya khas Jawa (dokpri)
Waktunya Berburu Kuliner

Keluar dari masjid, kami menemui embah penjual sego liwet. Kami pun kemudian berhenti untuk sarapan pagi bersama sego liwet. Jika ke Surakarta memang kurang lengkap jika tak mencicipi sajian sego liwet. Dulu aku ingat kawanku langsung menyeretku pagi-pagi untuk antri di penjual sego liwet yang katanya paling enak sekota. Lihat antriannya aku agak was-was, tapi rupanya ibunya gesit melayani, sehingga tak lama kemudian aku sudah mendapatkan seporsi nasi liwet. 

Sego liwet cocok buat sarapan (dokpri)
Sego liwet cocok buat sarapan (dokpri)
Porsinya mungil cukuplah untuk sarapan (dokpri)
Porsinya mungil cukuplah untuk sarapan (dokpri)
Kali ini memang pembelinya tidak banyak, tapi sego liwetnya lumayan enak. Dengan sepuluh ribu dalam alas daun pisang terdapat nasi gurih yang dimasak dengan santan, telur, ayam opor, sayur labu siam, dan areh atau santan kental. Rasanya gurih dan cukup mengenyangkan. 

Nenek penjual bercerita ia telah berjualan sejak tahun 1965. Ia memasaknya sendiri sejak pukul 02.00 dini hari. Arehnya ia kukus agar lebih tahan lama atau tidak mudah basi. Ia sendiri sejak diajak membuat sego liwet ke berbagai kota. 

Jajan dulu nyok (dokpri)
Jajan dulu nyok (dokpri)
Ada sate madura juga (dokpri)
Ada sate madura juga (dokpri)
Anak-anak asyik menggambar (dokpri)
Anak-anak asyik menggambar (dokpri)
Di alun-alun inilah ramai tua muda yang melewatkan akhir pekan (dokpri)
Di alun-alun inilah ramai tua muda yang melewatkan akhir pekan (dokpri)
Eh Kang Pepih malah asyik bekerja (dokpri)
Eh Kang Pepih malah asyik bekerja (dokpri)
Kami pun beranjak menuju kawasan car free day. Ada banyak jajanan di sini, rata-rata bukan khas jajanan Surakarta. Ada leker, soto ayam, bakso ikan goreng, dan sate Madura. Di sekitar car free dayjuga ada berbagai permainan anak-anak juga ajang menggambar anak-anak. Waktu keberangkatan kurang setengah jam lagi, kami memutuskan menuju tempat parkir bus.

Tempat bus parkir sebenarnya terletak di dekat Benteng Vastenburg. Sayang kami tidak sempat untuk menengok benteng tua tersebut. Benteng tersebut sudah berusia ratusan tahun. Ia dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1745. Bentengnya nampak sepi dan hanya ada kambing yang asyik berkeliaran di halamannya.

Wah sayang tidak sempat mengunjungi Benteng Vastenburg (dokpri)
Wah sayang tidak sempat mengunjungi Benteng Vastenburg (dokpri)
Belum semua peserta lengkap berkumpul di bus. Sebagian masih asyik berbelanja batik dan kaus yang dijajakan di area tak jauh dari tempat parkir bus. Aku melihat ada penjaja serabi Solo. Aku pun mendekatinya. Penjualnya perempuan muda bernama Mega yang mengaku mendapat keahlian membaut serabi secara turun-temurun. "Ibu dan saudara-saudara saya semua bisa membuat serabi. Penjual serabi di kawasan ini masih saudara semua," kisahnya. 

Ia menawariku membeli satu lusin. Melihatku ragu ia menawarkan dua buah serabi yang masih hangat. Wah memang pagi-pagi nyerabi itu enak. Apalagi serabinya masih hangat, baru keluar dari pemanggangan. 

Harumnya khas. Aku mengambil kulit tipis pinggirannya baru kemudian mengunyah perlahan bagian tengahnya. Bagian tengahnya begitu empuk dan teksturnya lunak. Rasanya begitu lembut di lidah, seperti langsung meluncur ke tenggorokan. Gurih dan tidak begitu manis. 

Mbak Mega mendapatkan keahlian membuat serabi secara turun-temurun (dokpri)
Mbak Mega mendapatkan keahlian membuat serabi secara turun-temurun (dokpri)
Setelah mengering dan matang, serabi siap diangkat. Yang nggak ahli bisa langsung hancur waktu mengangkatnya (dokpri)
Setelah mengering dan matang, serabi siap diangkat. Yang nggak ahli bisa langsung hancur waktu mengangkatnya (dokpri)
Aku kemudian asyik memerhatikan Mba Mega menyiapkan dagangannya. Ia begitu luwes dan cekatan membuat serabi. Dengan cekatan ia menuang adonan ke cetakan tembikar, kemudian ditutupnya hingga adonan cukup matang. 

Ada yang dibiarkannya polos, ada pula yang ditaburinya dengan misis cokelat dan irisan pisang. Setelah matang, dengan hati-hati ia mengangkat si serabi. Voila! Hasilnya adalah serabi yang cantik dan gurih.

Dua jam tak terasa berlalu. Bus pun kemudian membawa kami ke bandara Adi Soemarmo. Tak lama lagi kami akan kembali ke Jakarta. Wah sedih juga Danone Blogger Academy ini harus berlalu. Eh belum ding tugasnya belum kukerjakan hehehe. 

Serabi...serabi, Engkau idolaku saat main ke Surakarta (dokpri)
Serabi...serabi, Engkau idolaku saat main ke Surakarta (dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun