Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Dua Jam di Surakarta, "Ngliwet" dan "Nyerabi"

20 November 2017   23:02 Diperbarui: 10 Agustus 2019   13:41 2024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Untung ada Kampung Batik yang buka sejak pagi, ada banyak batik di sini dan harus berani nawar (dokpri)

Kami mengambil jalan pintas lewat Mesjid Ageng Surakarta. Masjid ini memiliki arsitektur khas Jawa. Di kompleks masjid, anak-anak asyik bermain air di kolam wudhu. Ada pula yang sedang berlatih senam pernafasan.

Di dekat mesjid ibu-ibu asyik bersenam dengan lagu dangdut, tapi tak mengapa (dokpri)
Di dekat mesjid ibu-ibu asyik bersenam dengan lagu dangdut, tapi tak mengapa (dokpri)
Mesjidnya memiliki menara yang tinggi dan arsitekturnya khas Jawa (dokpri)
Mesjidnya memiliki menara yang tinggi dan arsitekturnya khas Jawa (dokpri)
Waktunya Berburu Kuliner

Keluar dari masjid, kami menemui embah penjual sego liwet. Kami pun kemudian berhenti untuk sarapan pagi bersama sego liwet. Jika ke Surakarta memang kurang lengkap jika tak mencicipi sajian sego liwet. Dulu aku ingat kawanku langsung menyeretku pagi-pagi untuk antri di penjual sego liwet yang katanya paling enak sekota. Lihat antriannya aku agak was-was, tapi rupanya ibunya gesit melayani, sehingga tak lama kemudian aku sudah mendapatkan seporsi nasi liwet. 

Sego liwet cocok buat sarapan (dokpri)
Sego liwet cocok buat sarapan (dokpri)
Porsinya mungil cukuplah untuk sarapan (dokpri)
Porsinya mungil cukuplah untuk sarapan (dokpri)
Kali ini memang pembelinya tidak banyak, tapi sego liwetnya lumayan enak. Dengan sepuluh ribu dalam alas daun pisang terdapat nasi gurih yang dimasak dengan santan, telur, ayam opor, sayur labu siam, dan areh atau santan kental. Rasanya gurih dan cukup mengenyangkan. 

Nenek penjual bercerita ia telah berjualan sejak tahun 1965. Ia memasaknya sendiri sejak pukul 02.00 dini hari. Arehnya ia kukus agar lebih tahan lama atau tidak mudah basi. Ia sendiri sejak diajak membuat sego liwet ke berbagai kota. 

Jajan dulu nyok (dokpri)
Jajan dulu nyok (dokpri)
Ada sate madura juga (dokpri)
Ada sate madura juga (dokpri)
Anak-anak asyik menggambar (dokpri)
Anak-anak asyik menggambar (dokpri)
Di alun-alun inilah ramai tua muda yang melewatkan akhir pekan (dokpri)
Di alun-alun inilah ramai tua muda yang melewatkan akhir pekan (dokpri)
Eh Kang Pepih malah asyik bekerja (dokpri)
Eh Kang Pepih malah asyik bekerja (dokpri)
Kami pun beranjak menuju kawasan car free day. Ada banyak jajanan di sini, rata-rata bukan khas jajanan Surakarta. Ada leker, soto ayam, bakso ikan goreng, dan sate Madura. Di sekitar car free dayjuga ada berbagai permainan anak-anak juga ajang menggambar anak-anak. Waktu keberangkatan kurang setengah jam lagi, kami memutuskan menuju tempat parkir bus.

Tempat bus parkir sebenarnya terletak di dekat Benteng Vastenburg. Sayang kami tidak sempat untuk menengok benteng tua tersebut. Benteng tersebut sudah berusia ratusan tahun. Ia dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1745. Bentengnya nampak sepi dan hanya ada kambing yang asyik berkeliaran di halamannya.

Wah sayang tidak sempat mengunjungi Benteng Vastenburg (dokpri)
Wah sayang tidak sempat mengunjungi Benteng Vastenburg (dokpri)
Belum semua peserta lengkap berkumpul di bus. Sebagian masih asyik berbelanja batik dan kaus yang dijajakan di area tak jauh dari tempat parkir bus. Aku melihat ada penjaja serabi Solo. Aku pun mendekatinya. Penjualnya perempuan muda bernama Mega yang mengaku mendapat keahlian membaut serabi secara turun-temurun. "Ibu dan saudara-saudara saya semua bisa membuat serabi. Penjual serabi di kawasan ini masih saudara semua," kisahnya. 

Ia menawariku membeli satu lusin. Melihatku ragu ia menawarkan dua buah serabi yang masih hangat. Wah memang pagi-pagi nyerabi itu enak. Apalagi serabinya masih hangat, baru keluar dari pemanggangan. 

Harumnya khas. Aku mengambil kulit tipis pinggirannya baru kemudian mengunyah perlahan bagian tengahnya. Bagian tengahnya begitu empuk dan teksturnya lunak. Rasanya begitu lembut di lidah, seperti langsung meluncur ke tenggorokan. Gurih dan tidak begitu manis. 

Mbak Mega mendapatkan keahlian membuat serabi secara turun-temurun (dokpri)
Mbak Mega mendapatkan keahlian membuat serabi secara turun-temurun (dokpri)
Setelah mengering dan matang, serabi siap diangkat. Yang nggak ahli bisa langsung hancur waktu mengangkatnya (dokpri)
Setelah mengering dan matang, serabi siap diangkat. Yang nggak ahli bisa langsung hancur waktu mengangkatnya (dokpri)
Aku kemudian asyik memerhatikan Mba Mega menyiapkan dagangannya. Ia begitu luwes dan cekatan membuat serabi. Dengan cekatan ia menuang adonan ke cetakan tembikar, kemudian ditutupnya hingga adonan cukup matang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun