Mendapat angpau saat lebaran itu menyenangkan. Bagian tidak enaknya itu ketika si pemberi berpesan agar sebagian angpau ditabung. Waduh dapat angpau sekali setahun, ditabung lagi, kapan senang-senangnya? Bagian terbaiknya memang tak langsung hadir, namun buah ketekunan itu nyata terbukti. Karena menabung maka sebagian besar impianku terkabul.
Ayahku memperkenalkanku dengan bank saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Ada gedung perbankan yang megah di dekat rumahku. Wah bangganya aku dan kakakku digandeng oleh ayah ke bank. Kami kemudian masing-masing mendapat buku tabungan. Kemudian kami bersaing siapa yang paling giat menabung.
Sayangnya nasib bank tersebut kemudian tidak jelas. Ia dikabarkan kolaps karena kredit macet dan kesulitan likuiditas. Ibuku pun panik karena kuatir tabungan kami menguap begitu saja. Ayah pun bersama para nasabah lainnya pun mendatangi bank tersebut. Kami bertiga ikut merasa cemas. Tabungan itu berasal dari angpau dan uang jajan yang kami kumpulkan dengan susah payahnya. Karena sedih dan takut uangku lenyap rasanya aku ingin menangis.
Ayahpun datang dengan sejumput kabar yang menentramkan. Mungkin karena total uang kami bertiga tidak begitu besar sehingga tabungan kami akan dikembalikan sepenuhnya, hanya kami harus sabar mengantri. Akhirnya uang tersebut memang kembali, kemudian tabungan kami itu dirupakan dalam bentuk kulkas yang kami inginkan sejak lama. Kulkas itu hingga saat ini masih eksis digunakan oleh orang tua di Malang. Jika ingat riwayat kulkas itu yang kami beli dari tabungan kami bertiga, wah senangnya, awet lagi hingga sekarang.
Pasca kolapsnya bank dekat rumah, kami agak was-was menabung di bank. Apalagi sejak krisis moneter 1997 hingga tahun 1999 ada banyak bank nasional yang bertumbangan.
Aku pun harus puas menyimpan uangku di celengan monyet dari plastik tebal. Bagian bawah celenganku itu kulubangi dan kututup plester. Jika uang jajanku habis, aku bisa mengambili koinnya hihihi. Tidak enaknya menabung di rumah, tabungan jadi sulit bertambah karena tempat aku menyimpan dana mudah sekali kubobol. Jaman dulu itu juga masih banyak cerita duit di celengan dicuri tuyul. Kakakku berhasil menakut-nakutiku dengan cerita tuyul sehingga aku menaruh cabe rawit di celengan yang konon senjata ampuh untuk mengusir. Alhasil duit di celenganku berbau cabe.Â
Baru sekitar tahun 2000-an aku baru menabung kembali di bank. Saat itu bank sangat membantu sekali bagi anak kosan sepertiku. Setiap awal bulan aku harap-harap cemas memeriksa saldo, apakah sudah ada kiriman bulanan dari Ibuku. Jika sudah dekat akhir bulan, aku juga cemas melihat masih adakah saldo yang bisa kutarik. Waktu itu bank baru sebatas keluar masuk uang. Rasanya masih sulit menabung waktu itu karena biaya kuliah dan biaya anak kosan cukup besar, sementara uang bulanan dari orang tua tidaklah banyak.
Perjalanan menabungku baru benar-benar dimulai ketika lulus kuliah dan mendapat pekerjaan yang lumayan. Waktu itu aku dan kawan-kawanku asyik-asyiknya belajar finansial. Kami mencari-cari bank yang kiranya memberikan bunga besar, Â memberikan promo ketika membuka rekening, ada hadiah undiannya tiap tahun, juga bunga deposito yang besar. Saking niatnya mencari bank yang menguntungkan, saat istirahat makan siang kami mengunjungi satu-persatu bank dekat kantor. Waktu itu aku melihat di depan kantor beberapa bank memasang stiker LPS, tapi kami acuhkan karena tidak paham maksud dari stiker tersebut.
Beberapa waktu kemudian seorang rekan kerjaku bercerita jika ia mendapat ponsel communicatorketika membuka rekening tabungan di bank X. Wah aku hampir saja tergiur dan ikut-ikutan membuka tabungan di dana. Tapi ketika berita-berita rame membahas tentang krisis ekonomi global yang bermula di Amerika dan akan menjalar secara global, aku mulai was-was. Alarmku berdering ada sesuatu yang tak nyaman akan terjadi. Bank tempat kawanku mengiming-imingi hadiah ponsel mewah itu kemudian juga dikabarkan bangkrut. Alasannya sama dengan bank A tempatku dulu menabung yang kolaps, kredit macet dan kesulitan likuiditas.Kawanku tergolong beruntung ,ia baru membuka rekening dan hanya  dua kali menyetorkan dana dengan nilai total ratusan ribu. Sedangkan sebagian nasabah lain bernasib sial. Banyak yang stress, adapula yang memilih mengakhiri hidupnya karena tak tahan melihat hartanya lenyap begitu saja. Rupanya menabung di bank saja tidak cukup untuk membuat hidup tentram dan untuk menggapai impian, perlu pengetahuan untuk mendapatkan informasi bank mana saja yang aman dan memberikan jaminan dana bagi nasabahnya.
Baru setelah kasus kolapsnya bank tersebut aku paham makna dari stiker LPS yang ditempelkan di kaca bagian depan bank. Ooh ternyata LPS atau Lembaga Penjamin Simpanan itu dilatarbelakangi  kasus kenakalan pengelolaan keuangan di berbagai bank yang pernah terjadi selama ini, dimana mereka sebenarnya merampok uang nasabahnya. Sebagian nasabah bank yang kolaps tersebut kemudian tidak mendapat uangnya yang dikumpulkan dengan susah payah. Kemudian, malah pemerintah yang dituntut menggantinya. Ah alangkah tidak adilnya.