Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mudik Itu Dinanti tapi Juga Perlu Diantisipasi

26 Mei 2017   18:11 Diperbarui: 26 Mei 2017   19:08 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemenhub memiliki berbagai cara untuk membuat mudik tahun ini nyaman, salah satunya memiliki strategi jika terjadi kemacetan di berbagai titik (dok. Kemenhub)

Setiap lebaran, rasanya ada yang kurang jika tak bersua dengan keluarga di kampung halaman. Bersalam-salaman, icip jajan atau ketupat dengan ayam berkuah, kemudian saling bercerita apa yang telah terjadi selama tak berjumpa. Sebenarnya yang dicari adalah pertemuan dengan keluarga pada hari yang istimewa, namun terkadang tidak setiap orang dapat merasakannya.

Saat masih kecil aku iri kepada tetangga atau kawan-kawan yang melakukan mudik. Aku tak pernah merasakan mudik. Rumah nenekku di sebelah rumahku, hanya tinggal buka pintu penghubung, sampai deh di rumah nenek. Rumah kakak, adik, sepupu dan kerabat ibuku kebanyakan berada di kota yang sama. Mereka semua berkumpul di rumah nenek. Jika usai membantu nenek menata kue dan merapikan rumahnya, aku dan nenek menonton teve berdua, menyaksikan berita mereka yang melakukan mudik dengan kereta, mobil, ataupun motor. Saat itu aku dan nenek terheran-heran mengapa orang-orang rela berdesak-desakan, mengalami macet, dan sebagainya, hanya demi menuju ke kampung halaman masing-masing. Apakah tidak bisa pindah ke hari atau bulan lain?

Ketika berkuliah di luar kota, aku senang akhirnya dapat mencicipi rasa mudik meskipun hanya hitungan jam. Biasanya aku menumpang bus atau kereta api seminggu jelang hari raya. Saat itu kondisi jalan masih normal, sehingga aku menikmati perjalananku.

Namun, kenyamananku terusik ketika lulus kuliah dan mulai bekerja di sebuah perusahaan yang sibuk. Aku hanya mendapat libur dua hari, H-1 dan hari ‘H’ lebaran. Aku termangu-mangu ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 19.00 dan aku belum berada di rumah, menata kue-kue di rumah dan di rumah nenek. Ketika seorang teman menawarkan memboncengku karena rute kami searah, aku langsung mengangguk setuju.

Mudik Bermotor Itu Melelahkan Meski Rute Pendek

Pengalaman bermudik dengan roda dua kualami dengan rute yang sebenarnya pendek. Surabaya ke Malang sebenarnya hanya berjarak 90-an kilometer. Rata-rata durasi perjalanannya 1,5-2 jam. Kami berdua start dari kosku di Surabaya Timur menuju pusat kota Malang. Namun perjalanan yang seharusnya menyenangkan dan singkat itu menjadi seperti siksaaan.

Oleh karena lebaran dirayakan keesokan harinya jalanan padat oleh berbagai kegiatan malam takbiran. Jalanan padat sejak dari pusat kota Surabaya. Roda dua kami ikut merayap sejak di Surabaya Selatan menuju kota Sidoarjo.

Di Sidoarjo, jalanan semakin padat. Di berbagai tempat nampak begitu semrawut, polisi nampak kebingungan mengatur arus jalan, apalagi pawai juga masih berlangsung. Meskipun bawaanku hanya sebuah ransel, kemacetan, kesemrawutan lalu lintas, juga polusi udara membuatku merasa sesak nafas. Rasanya susah mengubah posisi duduk, tubuhku terasa kaku.

Jalanan masih merayap, aku mulai lelah. Ketika tiba di Pandaan aku mengucap syukur, perjalanan tinggal separuh. Tapi jam sudah menunjuk pukul 22.00 WIB. Di Kota Pandaan, kondisi jalanan juga masih ramai oleh berbagai aktivitas. Mengantuk dan lelah. Rasanya seperti mimpi, akhirnya aku tiba di jalan raya yang posisinya tidak terlalu jauh dari rumah. Ketika aku turun dari bangku penumpang, aku merasa limbung. Aku terkejut melihat sol sepatuku yang rusak seperti terbakar. Wah jangan-jangan tadi aku mengantuk dan salah memosisikan kaki ke dekat knalpot. Sampai di rumah sudah lewat tengah malam. Kasihan Ibu, Beliau masih terjaga. Aku hanya sempat tidur beberapa jam sebelum Ibu membangunkanku untuk sholat Idul Fitri. Wah durasi perjalanan yang biasanya 90-120 menit menjadi lebih dari dua kali lipat. Sungguh melelahkan.

Sepuluh Tahun Lalu Bemudik dengan Kendaraan Pribadi Masih Menyenangkan

Ketika kemudian bekerja di Jakarta, aku sempat melakukan mudik dengan menumpang kendaraan milik kakak. Kami start dari Lippo Cikarang malam hari seteleh sholat tarawih. Oleh karena bermudik bersama kakak, rasanya sih menyenangkan. Saat itu mereka yang bermudik dengan kendaraan pribadi juga tak sebanyak sekarang, tapi tetap saja macet di banyak tempat, terutama di dekat pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun