Kisah wayang semakin rumit ketika ku menelaah kisah Wayang Purwa sebelum era Sentanu. Terkadang aku menghentikan bacaanku dan membiarkannya mengendap, kemudian mendiskusikan hal tersebut dengan ayah. Aku heran mengapa dewa bisa berperilaku ambigu, aku juga bingung tentang asal-usul Durga, Dewi Kali, para punakawan juga darimana kesaktian Rahwana itu datang. Lumayan membingungkan tapi terus mengusik rasa penasaranku.
Menurut ayah, kisah wayang merupakan refleksi kondisi manusia dan dunia, dimana masih relevan hingga sekarang. Setiap manusia bahkan dewa di kisah wayang bisa melakukan perbuatan tak terpuji dimana kemudian mendapat karmanya.
Cerita wayang di beberapa cerita akan susah dipahami secara tekstual dan sepotong-potong, bisa menimbulkan salah makna. Aku jadi teringat pada keponakanku yang dilarang gurunya menonton kisah wayang di televisi karena dianggap tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Aku dan ayah sendiri merasa prihatin ketika mengetahui ada kalangan yang menolak pagelaran wayang kulit oleh karena pesan moral dalam wayang itu sangat banyak.
Gara-gara Wayang Jadi Suka Wisata Sejarah
Oleh karena sejak batita terbiasa akan kisah wayang, aku jadi menyukai hal-hal berbau wayang. Sejak SD aku suka menonton wayang wong di televisi dan terkadang menemani ayah menonton pagelaran wayang kulit di televisi. Aku menyerah dalam hal menonton wayang kulit, biasanya setelah satu jam mataku sudah berat. Tapi pengalaman ini berbeda ketika aku sempat menyaksikan Festival Pedalangan di Surabaya tahun 2006. Mungkin karena durasinya dibatasi satu jam tiap dalang, maka aku tahan menonton hingga enam pertunjukan. Lagipula pertunjukannya memang menarik karena juga ada sesi wayang Bali dan wayang golek juga pagelaran wayang dari Ki Enthus Susmonk.
Gara-gara wayang aku jadi suka berkunjung ke candi dan museum. Aku suka memerhatikan arca Siwa yang memiliki berbagai perwujudan juga arca Durga dan Ganesha. Aku bersuka cita ketika menapakkan kaki ke candi Pandawa di Dieng. Kabutnya semakin membuat candi ini berkesan misterius.
Saat mendapat kesempatan ke India, aku senang mendapat kawan yang mengajakku merasakan pengalaman berkunjung ke tempat religi di Bangalore, India Selatan. Aku terkagum-kagum melihat bangunan yang bernama International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) Sri Radha Krishna Temple. Di sana aku dapat memahami mengapa Kresna begitu diagungkan dan mengapa dalam kartun ia digambarkan berwarna biru.
Ketika kemudian berkunjung ke India Utara, melonjak gembira ketika mengetahui pegunungan di Manali adalah bagian dari Himalaya dan ada tempat pemujaan Dewi Arimbi (Hidimba Devi Temple) dan Gatotkacata (Gathotkach Shrine) di sini. Aku dan pasangan pun berjalan kaki dari penginapan di sana dan melihat banyak pengunjung yang berdoa di sana dan memang tempatnya begitu adem dan menentramkan. Wah rasanya seperti napak tilas kisah pewayangan.
Meskipun sudah ada berbagai buku wayang yang kubaca, rasa penasaran masih hinggap. Bagaimana kelanjutan dinasti Barata pasca Udrayana? Apakah Udrayana sama dengan Janamejaya. Mengapa kisah wayang begitu lekat di Indonesia dan benarkah raja Jawa merupakan keturunan Parikesit seperti yang disebut dalam Babat Tanah Jawi, dan sebagainya? Ada banyak pesan moral dari kisah pewayangan, sangat disayangkan jika merasa tabu membacanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H