Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa sejarah dan pergantian kekuasaan. Namun, masih ada kalangan yang menganggap hari-hari ini masih gelap terutama dalam hal hak berbudaya yang membuka ruang bebas untuk berekspresi. Suara-suara dari mereka yang pernah dibungkam ini dibahas dalam acara diskusi dan peluncuran buku berjudul Cahaya Mata Sang Pewaris sekaligus penayangan dua film pendek yang selaras dengan tema pada Jumat (21/4) di Goethe Haus Jakarta.
Di antara agenda acara yang pernah diadakan komunitas film Komik, acara ini yang temanya paling berat menurutku. Tema-tema seperti ini cenderung kurang populer sehingga tak heran jika peminat acara ini di kalangan komikers tidak banyak seperti biasanha, meskipun juga dikarenakan waktunya yang kurang pas karena menjelang long weekend.
Dari Komik hanya tiga komikers yang ikut, saya, Dina dan Erni. Tapi ruang studio sebagian besar terisi penuh. Mereka ada yang penasaran dengan tema yang diangkat, juga ada dari mereka yang pengagum penulis Putu Oka Sutanta.
Meskipun usianya sudah 77 tahun tapi ia masih aktif dan gesit. Di dalam buku yang memuat memoar 26 penulis ini ia berperan sebagai editor. Ia sendiri tak memasukkan kisah hidupnya meskipun sempat merasai pahitnya di balik jeruji tanpa pernah diadili selama 10 tahun pada 1966-1976 karena aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat.
Dalam pidatonya, Fritz berujar bahwa generasi muda Jerman perlu mengetahui sejarah kelam negerinya dengan peristiwa Nazi, bukan hanya dari segi kebesaran bangsanya.
Menurut Fritz kekuatan bukanlah kekerasan ataupun kekuasaan. Kekuatan sesungguhnya adalah tenggang rasa dan toleransi terhadap segala manusia. Menjalani hidup dan membiarkan orang lain menjalani hidup itu tak ada sangkut pautnya dengan kelemahan maupun dengan kemanusiaan yang cengeng.
"Bersama sang pujangga, para korban masa mengerikan 1933 sampai 1945 pun berseru: Janganlah jadi tukang, penguasa, maupun rakyat semata, jadilah manusia! manusia ! Manusia!"
Film pendek berikutnya adalah film pendek sepanjang 28 menit yang dirilis tahun 2016 berjudul Bangkit dari Bisu. Film yang disutradarai oleh Shalahuddin Siregar ini berkisah tentang paduan suara bernama Dialita. Anggota paduan suara tersebut adalah penyintas, keluarga, dan pendukung ratusan ribu korban tahun 1965 yang dipenjara dan dibunuh tanpa proses pengadilan.
Dalam film tersebut digambarkan proses berkumpulnya anggota menjadi paduan suara. Ada Bu Uchi pemimpin Dialita yang berusia 64 tahun. Ia sejak usia 13 tahun harus wajib lapor karena kedua orang tuanya ditangkap karena diduga terlibat dalam aksi organisasi terlarang. Sedangkan Bu Utati merasakan sedihnya di balik penjara selama 13 tahun. Ia bercerita jika seusai berlatih paduan suara ia ditangkap dan dipaksa mengakui perbuatannya.
Sosok Bu Utati ini menarik karena ia pandai menulis lagu. Saat di balik terali besi ia menulis lagu berjudul Ibu. Ia yang menjadi sumber perbendaharaan lagu-lagu sebelum tahun 1966 yang kemudian dicekal oleh orde baru, salah satunya lagu Viva Ganefo. Tentang Ganefo atau Games of The New Emerging Forces ini sebagian generasi muda mungkin tidak banyak yang tahu. Saya sendiri juga tahunya sebatas pesta olah raga yang pesertanya dari negara Asia Afrika. Tapi dari cuplikan dokumenternya dan euforianya ternyata pesta olah raga ini meriah untuk masa itu. Bahkan pihak panitia olimpiade merasa geram karena merasa tersaingi dan kemudian melarang Indonesia mengikuti olimpiade tahun 1964. Tentang Ganefo aku jadi ingat mantan rekan kerja senior yang juga bernama Ganefo. Pasti si Ibu lahir pada November tahun 1963 saat Ganefo dihelat hehehe.
Dari film pendek tersebut pesan yang disampaikan adalah agar generasi muda mau belajar sejarah bangsa Indonesia, termasuk sisi kelamnya serta bangkit dari rasa takut akan pembungkaman.
Setelah pemutaran dua film pendek, salah satu penulis buku, Gita Laras, membacakan karyanya berjudul Anak Wong Mambu. Ia bercerita jika ayahnya ditangkap dan masuk ke LP Salemba. Ia tumbuh menjadi remaja yang tak percaya diri karena jika teman-teman atau tetangganya tahu tentang ayahnya maka reaksinya kasihan ada juga yang menyebutnya anak wong mambu.
Acara dipungkasi dengan diskusi yang dipimpin dua penulis buku, Nasti Rukmawati dan IGP Wiranegara. Wah kepala saya langsung berat, tapi wawasan saya juga ikut terbuka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H