Berbicara tentang film Indonesia, kali ini saya sedikit lebih percaya diri membahasnya dibandingkan tahun sebelumnya. Oleh karena lebih dari 25% film Indonesia yang tayang tahun 2016 sempat kutonton, jumlah yang pastinya lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk itu saya membuat catatan tentang apa yang terjadi di dunia sinema nasional tahun lalu.
Berawal dari percakapan di media sosial, saya kemudian menjadi kontributor untuk blog keroyokan khusus film, cinemaniaID. Yang berbeda dengan media online perfilman pada umumnya, blog kami juga merilis buletin bulanan yang bisa diunduh cuma-cuma secara gratis. Oleh karena kontributor untuk film Indonesia baru satu dan kemudian rekanku tersebut cabut, maka akhirnya aku yang didapuk mengamati film Indonesia dan memilah-milah mana yang layak direkomendasikan.
Meskipun tahun-tahun sebelumnya frekuensiku menonton film Indonesia bisa dihitung dengan jari, aku diam-diam mengamatinya. Jika jalan ceritanya kusuka atau ada film yang dibintangi aktor/aktris idola, biasanya aku tak ragu menontonnya. Kadang aku juga berhasil membujuk kawan-kawan kantor ikut menontonnya. Alhasil bukan hanya aku yang pias menonton Kuntilanak, ada teman-temanya hahaha.
Ada banyak hal yang menarik dan kugarisbawahi selama menonton berbagai film Indonesia tahun 2016. Yang pertama tentunya dari kuantitas penonton. Ada sembilan film yang berhasil menjaring penonton lebih dari satu juta, seperti Rudy Habibie, Ada Apa dengan Cinta?2, My Stupid Boss, I Love You From 38.000 Feet, Hangout, Koala Kumal, London Love Story, dan Comic 8: Casino Kings Part 2.
Saya sendiri ketika melihat antrean penonton yang berjubel di depan konter tiket merasa terharu. Ada tiga film yang penontonnya rela antri lama, seperti AADC?2, My Stupid Boss dan Warkop DKI Reborn. Bahkan ada yang tidak kebagian tiket hari itu dari hasil ngobrol dan terpaksa menonton film lainnya. Melihat hal ini aku tersenyum, mungkin perfilman nasional akan kembali cerah asal sineas konsisten memberikan film-film yang berkualitas.
Berikutnya adalah sisi genre. Pada tahun 2001 seiring kesuksesan AADC maka film nasional dimarakkan dengan aneka film drama remaja. Kemudian hadirlah film horor yang mengguncang yakni Jelangkung, menyusul trilogi Kuntilanak yang membuatmu takut mandi malam pasca menontonnya.
Selanjutnya film Indonesia sempat kembali kedodoran dengan banyaknya film horor murahan yang vulgar. Namun untunglah di tengah derasnya film horor, komedi, dan drama dengan kualitas rendah, masih ada film-film berkualitas dan layak tonton. Ada Fiksi yang memiliki narasi dan akting kuat dari pemainnya. Masih ada Lola Amaria dan Ari Sihasale-Nia Zulkarnaen yang konsisten dengan film-film yang sarat pesan humanis. Juga ada Joko Anwar dengan filmnya yang 'beda' sepertiPintu Terlarang dan Modus Anomali. Film Rumah Dara, Habibie Ainun, Sang Kyai, Sang Penari, Trilogi Merah Putih juga termasuk film yang berkesan. Intinya masih ada tontonan menarik dan berkualitas di tengah kepungan film horor dan komedi yang tidak jelas.
Nah pada tahun 2016 genre tersebut semakin beragam. Masih ada horor tapi porsinya tidak sebanyak dulu, juga tidak menonjolkan sensualitas. Film horor/slasher yang banyak diperbincangkan adalah The Doll dan Rumah Malaikat. Film komedi juga masih diminati terutama yang pemainnya adalah komika seperti Raditya Dika, Mongol, Ernest, Babe Cabita dan sebagainya. Film komedi umumnya perolehan penontonnya bagus, rata-rata di atas 100 ribu penonton. Kalau saya sendiri, agak kurang suka dengan gaya komedi ala Comic 8. Lawakannya terasa garing dan berlebihan, tapi anak remaja hampir selalu terpingkal-pingkal di sepanjang film. Kalau saya masih lebih mending My Stupid Boss yang lumayan lucu, meski di beberapa bagian agak datar. Memang selera humor setiap orang tidak bisa disamakan.
Genre drama masih tetap mendominasi, kiranya ada 70%. Dramanya sebagian besar tak jauh-jauh dari percintaan, dimana umumnya diambil dari novel populer, selebihnya adalah biopik seperti Sundul Gan, Athirah, 3 Srikandi, dan Rudy Habibie.
Untuk drama ini saya mulai jenuh dengan film sekuel, di luar Rudy Habibie dan AADC?2. Saya juga kurang tertarik dengan sebagian film yang ber-setting luar negeri atau film dengan penambahan judul negara lain, karena rata-rata hanya menjual panorama luar negeri. Misalkan panorama atau cerita luar negerinya dihapus, maka filmnya jadi sangat biasa saja. Atau memang sengaja memasang judul nama suatu negara untuk menarik perhatian atau terkesan lebih bergengsi? Entahlah. Setting dalam negeri juga oke kok, yang penting narasi dan aktingnya oke, seperti Athirah, yang kunobatkan sebagai film paling menarik tahun 2016.
Oh iya tahun ini juga ada film daerah seperti Uang Panai. Yang tak terduga filmnya cukup laris, yakni berkisar 500 ribu penonton. MNC Pictures juga membuat film1 Cinta di Bira yang diedarkan khusus di Sulawesi Selatan dan tayang terbatas di Jabodetabek. Para pemainnya berasal dari Sulsel dan mendapat sambutan hangat dari warga daerah tersebut.