Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mewujudkan Bonus Demografi Sebagai Harapan

21 September 2016   09:44 Diperbarui: 21 September 2016   09:57 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Piramida Penduduk Tahun 2035 ( data proyeksi Bappenas-BPS 2010-2035)"][/caption]

Pada tahun 2020-2035 akan terjadi lonjakan jumlah penduduk pada usia produktif 15-65 tahun di Indonesia dimana persentasenya lebih dari penduduk usia nonproduktif. Banyaknya penduduk usia produktif ini disebut sebagai bonus demografi dan kehadirannya bisa membawa harapan. Namun, ada berbagai pekerjaan rumah dari pemerintah yang perlu dilakukan agar bonus demografi itu menjadi harapan, bukan malah sebaliknya

Sejak tahun 2014 isu bonus demografi banyak dikupas. Ada banyak yang optimis menyambut momen tersebut, tak sedikit yang pesimis melihat kondisi negeri saat ini. Kalau saya sendiri melihat jumlah penduduk yang sangat besar merasa agak ngeri, apalagi di lingkungan tempat tinggal saya saat ini seakan sudah jarang yang mengikuti program KB. Namun saya coba berpikir positif apa-apa saja yang bisa diraih oleh negara berpenduduk besar terutama ketika momen bonus demografi itu terjadi.

Jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 252.370.792 juta (data BPS tahun 2015). Angka yang sangat besar bagi sebuah negara berkembang, dan menempatkan Indonesia di posisi keempat negara dengan jumlah populasi terbesar di bawah Republik Rakyat Tiongkok, Amerika Serikat, dan India. Sedangkan laju pertumbuhan penduduknya juga sangat cepat, yaitu berkisar 1,4 persen. Ini berarti pada tahun 2035, proyeksi jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik-Bappenas mencapai 305,6 juta.

Saat ini rasio antara jumlah penduduk usia produktif dan non produktif berkisar 2:1. Pada 14 tahun kemudian (tahun 2030) maka mereka yang saat ini baru balita telah memasuki usia produktif, sehingga jumlah mereka yang berada pada kisaran usia produktif mengalami peningkatan dan pada tahun 2035 diperkirakan mencapai 67,9 persen.

[caption caption="Piramida Penduduk Tahun 2015 ( data proyeksi Bappenas-BPS 2010-2035)"]

[/caption]

[caption caption="Piramida Penduduk Tahun 2030 dan 2035 ( data proyeksi Bappenas-BPS 2010-2035)"]

[/caption]

Para pemuda dan pemudi merupakan generasi masa depan bangsa. Merekalah yang akan menerima tongkat estafet kepemimpinan dan yang nantinya mengelola bumi, air dan segala kekayaan alam yang ada di negeri ini.

Ada banyak harapan yang disematkan kepada mereka yang berada di usia produktif ini mulai dari ide-ide segar yang bisa membawa bangsa menuju tingkat perekonomian yang lebih maju hingga sikap yang jujur, berkarakter dan bermental tangguh sehingga Indonesia bisa benar-benar terlepas dari korupsi dan bisa menjadi bangsa yang kompetitif.

Di berbagai negara terutama di negara maju seperti Jerman, Hongkong, Jepang, dan Singapura sejak beberapa tahun silam mengalami laju penurunan penduduk yang mencemaskan karena semakin enggannya warga untuk memiliki keturunan. Pemerintah setempat kemudian membujuk warganya untuk bersedia memiliki anak dan memberikan insentif, namun belum mencapai target yang memuaskan. Jika dibiarkan berlanjut maka jumlah usia produktif akan terus menurun dan membentuk piramida terbalik. Hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Sejak satu dekade silam angka kelahiran melesat tajam, dari tahun 1980 ke 2010 populasi warga meningkat dari 147,36 juta ke 238,5 juta dan menjadi 252,5 juta pada tahun 2015. Dengan jumlah usia produktif yang lebih banyak dimana diperkirakan pada tahun 2035 mencapai 207,5 juta maka beban ketergantungan (1 usia produktif menyokong usia non produktif) pun menurun dari 50,5 pada tahun 2010 menjadi 47,3 pada 2035 (data proyeksi Bappenas-BPS), sehingga tingkat kemakmuran pun menjadi lebih tinggi.

Bonus demografi ini memang merupakan momen yang bisa menjadi sebuah harapan jika dikelola dengan baik, namun bisa berakhir jadi ancaman jika tidak dipersiapkan sejak sekarang. Untuk mewujudkan sisi positif dari bonus demografi ini ada banyak hal yang menjadi catatan pemerintah, jangan sampai bonus demografi malah menjadikan tingkat pengangguran dan tingkat kriminalitas meningkat yang akan malah memperberat beban negara.

Prioritas utama dalam menyiapkan generasi unggul tersebut adalah pendidikan, baik pendidikan yang bersifat ilmu pengetahuan dan keahlian, maupun pendidikan karakter. Pendidikan merupakan senjata ampuh untuk memutus tali kemiskinan dan merombak pola pikir. Tingkat pendidikan yang tinggi serta dibekali pembentukan karakter seperti kejujuran, disiplin dan sebagainya akan membuat generasi muda menjadi lebih kompetitif dan percaya diri. Selain itu yang tak kalah penting adalah penanaman jiwa kewirausahaan agar generasi muda tidak hanya bergantung pada lapangan pekerjaan melainkan memikirkan cara untuk membuka lapangan pekerjaan. Dasar-dasar kewirausahaan ini bisa diberikan sejak dini sehingga jumlah entrepreneur di Indonesia nantinya terus meningkat.

Menilik dari kondisi pendidikan dan perekonomian saat ini, tentunya perlu kesungguhan dan kerja keras dari berbagai pihak untuk memeratakan pendidikan dan meningkatkan jumlah lapangan kerja. Rata-rata tingkat pendidikan di Indonesia berkisar 7,6 tahun atau kelas 2 SMP (sumber di sini). Meskipun sudah ada sekolah di berbagai penjuru daerah akan tetapi kualitas pendidikannya belum merata dan belum meratanya kesadaran dari orang tua akan pendidikan si anak). Pada saat ini jumlah siswa yang melanjutkan ke perguruan tinggi pun masih terbatas dimana umumnya dikarenakan permasalahan biaya dan keberadaan perguruan tinggi di daerah yang minim.

Indeks daya saing Indonesia tahun 2015 juga masih perlu ditingkatkan, yakni berada di posisi 37 dari 140 negara, masih kalah dengan negara tetangga seperti Singapura (2), Malaysia (18), dan Thailand (32). Belum lagi penetrasi teknologi seperti daya akses internet yang belum merata di tanah air. Hal ini perlu diperhatikan oleh pemerintah dan elemen masyarakat lainnya karena menciptakan generasi unggul bukan hanya tugas satu dua instansi.

Tingkat pengangguran saat ini juga mencemaskan. Ada 6,2 juta usia produktif yang menganggur (pengangguran terbuka per Agustus 2015). Selain dikarenakan tidak mencukupinya lapangan pekerjaan, juga kurangnya daya kreativitas dan jiwa wirausaha di kalangan generasi muda. Pekerjaan rumah pemerintah saat ini selain membuka lapangan pekerjaan juga membuka berbagai pusat kewirausahaan. Pemerintah bisa menggandeng para wirausahawan muda yang sukses dengan ide bisnisnya yang beragam untuk menularkan pengetahuan dan juga memberikan pelatihan bagi mereka. Saat ini pusat kewirausahaan mulai dirintis Kementrian Perindustrian dan Badan Kreatif namuh masih perlu sosialiasi dan dukungan dari pihak sekolah, perguruan tinggi dan masyarakat agar jangkauannya lebih besar.

[caption caption="Tingkat Pengangguran Terbuka 2013-2015 (sumber website BPS)"]

[/caption]

Tingkat pengangguran ini dianggap memiliki korelasi dengan tingkat kriminalitas. Hal ini dikarenakan seseorang yang putus asa untuk mencukupi kebutuhannya dapat termotivasi untuk melakukan perbuatan tercela. Agar hal ini dapat diantisipasi maka tingkat pengangguran perlu diminimalisir selain perlunya pendidikan karakter.

Tiga hal penting lainnya yang perlu diperhatikan pemerintah adalah kontrol terhadap laju pertumbuhan penduduk, penyebaran penduduk, dan ketahanan pangan. Dengan kondisi saat ini dimana laju kelahiran mencapai 1,4% (data BPS 2014) maka pemerintah seharusnya masih perlu merasa kuatir. Pada tahun 1970 ke tahun 2000 Pemerintah telah berhasil menurunkan laju dari 2,31 menjadi 1,49 persen, selanjutnya mulai stagnan hingga sekarang.Tingginya angka ini disebabkan masyarakat mulai enggan mengikuti program KB dan mulai adanya tren nikah muda. Jika tidak dikontrol, maka tingkat beban ketergantungan akan kembali meningkat dan akan memunculkan permasalahan sosial dikarenakan daya negara tidak mencukupi.

Isu berikutnya yakni penyebaran penduduk yang belum merata. Provinsi di Jawa Bali sudah sangat padat dengan lebih dari 50% penduduk, sementara di daerah Kalimantan Utara dan Papua masih banyak lahan kosong. Kepadatan tertinggi berdasar BPS tahun 2014 adalah DKI Jakarta dengan 15.173 jiwa per kilometer persegi sedangkan provinsi Kaltara, Papua Barat dan Papua masing-masing 8,9 dan 10 jiea per kilometer persegi.

Untuk itu, pemerintah bisa mulai lagi mengadakan program transmigrasi dan mengajak generasi muda untuk berani merantau. Jika konsentrasi penduduk terus berpusat di Jawa Bali maka permasalahan sosial di daerah tersebut juga akan terus meningkat seperti permasalahan pemukiman, transportasi, dan sanitasi dan kemiskinan. Semester pertama 2016 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 28.000.541 dengan didominasi kemiskinan di provinsi Jawa Timur (4.703,03 ribu), Jawa Tengah (4.506,89 ribu), dan Jawa Barat (4.224,32 ribu). Di Jawa Timur mayoritas penduduk miskin di pedesaan yaitu 3.184,51 ribu jiwa.

Isu berikutnya yang tak kalah penting adalah ketahanan pangan. Penduduk erat kaitannya dengan pangan. Saat ini sawah ladang telah berganti dengan pemukiman dan industri, sedangkan ketergantungan masyarakat pada beras masih tinggi. Ketahanan dan diversifikasi pangan ini juga perlu menjadi perhatian untuk membentuk generasi yang sehat dan tak kurang pangan.

Oleh karenanya menurut saya pemerintah perlu berfokus pada prioritas utama untuk menciptakan bonus demografi sebagai harapan, yakni pendidikan baik pendidikan formal maupun pendidikan karakter dan jiwa kewirausahaan. Pemerintah juga perlu memperhatikan laju pertumbuhan penduduk, penyebaran penduduk, dan ketahanan pangan dari sekarang agar tak terjadi permasalahan sosial lebih pelik.

Oleh karena pemerintah tak bisa melakukannya sendirian, maka mari bergandeng tangan untuk mewujudkan bonus demografi menjadi harapan masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun