Minyak dan gas bumi masih merupakan energi primer di Indonesia. Kebutuhan migas tiap tahunnya terus meningkat baik untuk kebutuhan domestik maupun kebutuhan industri. Sementara itu, sejak harga minyak bumi turun pada kuartal III 2014, investasi di hulu migas pun ikut lesu. Untuk itu perlu kiranya iklim investasi yang kondusif dan baik. Nah, pada 26 Agustus silam Kompasianer mendapat asupan wawasan tentang kondisi industri hulu migas di Indonesia oleh SKK Migas.
Sudah beberapa kali dilakukan edukasi tentang industri hulu migas oleh SKK Migas. Saya pernah mengikutinya pada Februari tahun 2015. Meskipun institusi pengundangnya sama, narasumber dan materinya berbeda dan terbarukan.
Selama ini ada anggapan salah di masyarakat tentang investasi hulu migas, dimana seolah-oleh negara asing menguasai wilayah kerja migas di Indonesia. Juga ada anggapan bahwa negara mengeluarkan APBN yang sangat besar untuk melakukan tahapan dari eksplorasi hingga eksploitasi wilayah kerja migas. Kedua anggapan ini keliru dan perlu diluruskan dengan salah satunya mengedukasi masyarakat secara berkelanjutan.
Pada acara ini narasumber terdiri atas Kepala Humas Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas Taslim Yunus dan Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong. Acara nangkring ini diadakan di Rarampa Culinary Experience, Jakarta Selatan.
Taslim Yunus menjelaskan tentang kondisi industri hulu migas di Indonesia. Oh ya bagi yang belum tahu SKK Migas, badan ini bertanggung jawab pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Tugasnya adalah melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan kontrak kerja sama.
Dulu Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor migas dan masuk keanggotaan OPEC. Baru setelah produksi minyak anjlok maka Indonesia kemudian keluar dari keanggotaan OPEC. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya memang ada peningkatan produksi minyak bumi, yakni mampu menghasilkan 1 juta barel/hari, akan tetapi jika dibandingkan dengan kebutuhan domestik dan industri maka ketahanan dan kemandirian energi di Indonesia sudah berada di lampu merah.
Menurut Taslim, kondisi migas di Indonesia saat ini sebagai berikut infrastruktur jaringan gas bumi yang belum merata, fasilitas operasi produksi yang sudah menua, penurunan produksi migas, cadangan migas yang semakin menipis, migas masih mendominasi penggunaan energi primer, proses penemuan migas yang semakin lama, sukses rasio eksplorasi yang mengecil, danreserves replacement ration yang di bawah 50% (rasio cadangan migas).
Sejatinya karena harga minyak turun maka menjadi momen yang baik untuk berinvestasi di hulu migas dari sisi keekonomian. Harga minyak turun maka eksplorasi dan pengembangan bisa turun. Saat eksplorasi harga rendah dan setelah sumur berproduksi, harga minyak kembali membaik karena migas masih tetap energi utama di berbagai negara. Namun, kenyataannya tidak seperti itu. Meskipun harga minyak turun, biaya eksplorasi di lapangan tidak turun secara signifikan.
Mengapa tidak boleh puas dengan jumlah wilayah kerja yang ada saat ini? Oleh karena kebutuhan energi dalam negeri terus meningkat sehingga perlu terus ada kegiatan eksplorasi untuk meningkatkan cadangan migas. Kegiatan eksplorasi sendiri terdiri atas studi geologi dan geofisika, survei seismik, dan pengeboran.
Memberikan kontrak kepada perusahaan asing yang memenangkan lelang wilayah kerja migas bukan berarti tidak nasionalis. Eksplorasi migas memiliki risiko yang begitu besar karena berpeluang gagal. Bisa jadi sudah lama mencari eh ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Waktu penemuan cadangan hingga sampai tahap produksi juga lama yaitu antara 8-26 tahun dan teknologi tinggi. Ia mencontohkan blok Cepu yang memakan waktu belasan tahun untuk mencapai puncak produksi.