Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Toleransi Bisa Dimulai dengan Berhati-hati Beropini di Medsos

14 September 2016   12:02 Diperbarui: 14 September 2016   12:09 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era 2.0 di dunia media dan kemudian diikuti era media sosial membawa perubahan baru bagi masyarakat. Yang dulunya unek-unek hanya diungkapkan lewat obrolan di warung kopi atau di meja makan, kini segala yang terlintas di benak bisa disuarakan lewat tanggapan di berita, forum, di blog pribadi ataupun melalui status di media sosial. Sayangnya pada era media sosial ini opini tersebut mengalir begitu saja tanpa disaring dulu, tanpa dipahami dulu konsekuensi dari pendapatnya jika dibaca oleh orang banyak.

Tok...tok...tok. Di era serba keterbukaan saat ini tidak perlu mengetuk pintu atau mengucapkan 'permisi' dulu untuk menyuarakan pendapat.Tinggal ketak-ketik opini dan kirim, maka opini tersebut dibaca oleh seluruh dunia. Mungkin nasihat 'Hati-hatilah dengan omonganmu, mulutmu adalah harimaumu', ada benarnya. Karena opini di media sosial tersebut bisa mempengaruhi tindakan orang-orang yang membaca status tersebut. Dan, bukan hanya kawanmu yang membaca, seluruh warga dunia bisa mendengarmu. 

Beberapa waktu lalu ada berita yang menuliskan adu jotos yang terjadi setelah perang caci-maki di media sosial (sumber disini). Saat menjelang Natal dan kemudian saat terjadinya penyitaan makanan dari warung yang buka saat siang hari bulan puasa di Banten, terjadi perang opini di media sosial dan berbagai forum. Banyak dari opini tersebut yang menggunakan kata-kata kasar dan menghina agama satu sama lain. Yang tidak mendukung pendapat mayoritas pun kemudian di-bully habis-habisan.

Berita terakhir yang memilukan ketika terjadi pembakaran wihara beberapa waktu lalu di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Rupanya hal tersebut disulut dengan sebuah status di facebook (sumber di sini). Akibat ulah provokator di media sosial maka terjadi huru-hara, mengerikan.

Dengan melihat situasi tanah air di beberapa tahun terakhir, saya merasa sebagian masyarakat Indonesia belum mampu berdiskusi secara sehat dan lebih menurutkan emosi. Mungkin karena sebagian menganggap tidak ada yang mengenal dirinya secara nyata karena menggunakan akun palsu atau merasa berbicara dengan mesin, maka mereka bebas berpendapat apa saja. Media sosial seolah menjadi tempat luapan sumpah serapah dan caci-maki.

Apa tidak capek ya mendengar kata-kata kasar setiap saat? Saya sendiri merasa lelah jika membaca sesuatu yang kasar karena seolah menebarkan energi negatif dan menyedot energi positif.

Mengeluarkan pendapat itu dijamin Undang-undang, namun bukan berarti setiap orang dapat menyuarakan sebebas-bebasnya karena ada norma dan peraturan yang melekat. Indonesia sudah dari dulu dikenal sebagai bangsa yang santun sehingga adab berbicara tersebut sepatutnya juga dibawa ke ranah maya.

Selain itu juga ada UU no 11/2008 ITE dan surat edaran SE/06/X/2015 tentang Hate Speech (Ujaran Kebencian) yang mengatur tentang larangan mengeluarkan pendapat yang menghasut kebencian.kepada induvidu dan komunitas berdasar suku, agama, dan ras dll.

Keragaman Itu Patut Dirayakan, Bukan Dimatikan

Di antara negara-negara di dunia, Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki beragam agama dan semuanya hidup secara damai. Ada enam agama yang diakui di Indonesia, Islam, Kristen Protestan, Kristen Khatolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Selain agama resmi tersebut juga ada aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki banyak pengikut.

Bagi saya keragaman itu indah dan itulah kekayaan bangsa Indonesia. Sudah bertahun-tahun Indonesia hidup dengan keberagaman tersebut dan selalu damai sehingga banyak negara yang kagum akan toleransi yang tumbuh secara alami tersebut.

Sejak dulu bangsa Indonesia memang bangsa yang penuh toleransi. Pada saat Singosari dan Majapahit berkuasa, agama Hindu dan Budha hidup bersama. Di Desa Narmada, NTB, juga terdapat Puri Lingsar dimana sejak dulu hingga saat ini pura Gaduh berdampingan dengan Kemaliq, tempat ibadah Islam Wektu Telo. Pada perang Topat untuk syukuran juga dimeriahkan oleh pemeluk kedua agama tersebut.  

Kemaliq di Lingsar berdampingan dengan Pura Gaduh (dok pribadi, sudah dipublikasi di blog pribadi)
Kemaliq di Lingsar berdampingan dengan Pura Gaduh (dok pribadi, sudah dipublikasi di blog pribadi)
"Pura Gaduh di Lingsar Berdampingan dengan tempat ibadah umat Islam Wektu Telu (dokpri, pernah dipublikasikan di blog pribadi)"
"Pura Gaduh di Lingsar Berdampingan dengan tempat ibadah umat Islam Wektu Telu (dokpri, pernah dipublikasikan di blog pribadi)"
Sebelum Indonesia merdeka juga telah terdapat beragam agama dan warga beragama Kristen, Islam, Hindu, Budha, dan Konghucu bersatu-padu untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Jalinan kerukunan antar agama tersebut kemudian diabadikan di sila ke-1 Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa yang butir-butirnya mengatur tentang hormat-menghormati dan bekerja sama antar pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda sehingga terbina kerukunan hidup (butir 2), saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya (butir 3), dan tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain (butir 4)

Sangat disayangkan jika saat ini kehadiran media sosial digunakan untuk melontarkan kebencian terhadap pemeluk agama tertentu atau saling caci maki antar pemeluk agama yang berbeda. Sepatutnya media sosial digunakan untuk hal-hal positif yang semakin memperekat persatuan bangsa dan negara, bukan untuk memecah-belah. Tentunya para pahlawan dan pendiri bangsa akan sedih apabila negara Indonesia kemudian terpecah-belah karena adanya provokator menggunakan isu agama di media sosial.

Topik tentang agama saat ini memang termasuk sensitif di Indonesia. Tak heran jika kemudian rubrik agama di Kompasiana juga dihapus karena diskusinya kemudian menjadi tidak sehat. Di berbagai forum dan medsos pun diskusi yang berkaitan dengan agama sebagian berujung dengan debat kusir dan caci-maki.

'Perang' opini di media sosial ini juga menyentuh sehari-hari melalui aplikasi percakapan seperti what's apps. Beberapa grup yang saya ikuti, anggotanya saling bertengkar terkait dengan topik agama, termasuk di kalangan pemeluk agama yang sama. Grup yang sebelumnya merupakan grup alumni dan bertujuan merekatkan, malah kemudian membuat anggotanya saling bertengkar.

Akhirnya dibuatlah peraturan untuk tidak membahas agama dan politik. Sebenarnya aturan tersebut tidak perlu ada jika anggotanya mengerti hak dan kewajiban dalam berdiskusi/berpendapat. Tapi karena saat ini banyak yang emosinya mengalahkan nalar maka aturan tersebut pun ditegakkan.

Keragaman agama di Indonesia adalah sebuah realita. Tidak perlu diperdebatkan mana yang paling benar. Yang lebih baik adalah menjalankan nilai-nilai dalam agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah menghargai sesama dan tidak melukai perasaan orang lain juga merupakan perintah dalam agama?

Peran keluarga dan lingkungan juga penting dalam menanamkan toleransi. Mereka yang terbiasa hidup di lingkungan yang plural memang lebih mampu untuk bertoleransi, tapi jangan juga jadikan alasan terbiasa hidup di lingkungan yang homogen akan menumpulkan toleransi.

Jika nuansa toleransi itu dibawa ke media sosial, alangkah damainya dan menyejukkan. Kerukunan itu indah, menenangkan hati, dan modal pembangunan. Sudah waktunya Indonesia kembali ke jati dirinya sebagai bangsa yang damai dan bertoleransi. Sungguh damai itu menyejukkan hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun