Sejak dulu bangsa Indonesia memang bangsa yang penuh toleransi. Pada saat Singosari dan Majapahit berkuasa, agama Hindu dan Budha hidup bersama. Di Desa Narmada, NTB, juga terdapat Puri Lingsar dimana sejak dulu hingga saat ini pura Gaduh berdampingan dengan Kemaliq, tempat ibadah Islam Wektu Telo. Pada perang Topat untuk syukuran juga dimeriahkan oleh pemeluk kedua agama tersebut. Â
Sangat disayangkan jika saat ini kehadiran media sosial digunakan untuk melontarkan kebencian terhadap pemeluk agama tertentu atau saling caci maki antar pemeluk agama yang berbeda. Sepatutnya media sosial digunakan untuk hal-hal positif yang semakin memperekat persatuan bangsa dan negara, bukan untuk memecah-belah. Tentunya para pahlawan dan pendiri bangsa akan sedih apabila negara Indonesia kemudian terpecah-belah karena adanya provokator menggunakan isu agama di media sosial.
Topik tentang agama saat ini memang termasuk sensitif di Indonesia. Tak heran jika kemudian rubrik agama di Kompasiana juga dihapus karena diskusinya kemudian menjadi tidak sehat. Di berbagai forum dan medsos pun diskusi yang berkaitan dengan agama sebagian berujung dengan debat kusir dan caci-maki.
'Perang' opini di media sosial ini juga menyentuh sehari-hari melalui aplikasi percakapan seperti what's apps. Beberapa grup yang saya ikuti, anggotanya saling bertengkar terkait dengan topik agama, termasuk di kalangan pemeluk agama yang sama. Grup yang sebelumnya merupakan grup alumni dan bertujuan merekatkan, malah kemudian membuat anggotanya saling bertengkar.
Akhirnya dibuatlah peraturan untuk tidak membahas agama dan politik. Sebenarnya aturan tersebut tidak perlu ada jika anggotanya mengerti hak dan kewajiban dalam berdiskusi/berpendapat. Tapi karena saat ini banyak yang emosinya mengalahkan nalar maka aturan tersebut pun ditegakkan.
Keragaman agama di Indonesia adalah sebuah realita. Tidak perlu diperdebatkan mana yang paling benar. Yang lebih baik adalah menjalankan nilai-nilai dalam agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah menghargai sesama dan tidak melukai perasaan orang lain juga merupakan perintah dalam agama?
Peran keluarga dan lingkungan juga penting dalam menanamkan toleransi. Mereka yang terbiasa hidup di lingkungan yang plural memang lebih mampu untuk bertoleransi, tapi jangan juga jadikan alasan terbiasa hidup di lingkungan yang homogen akan menumpulkan toleransi.
Jika nuansa toleransi itu dibawa ke media sosial, alangkah damainya dan menyejukkan. Kerukunan itu indah, menenangkan hati, dan modal pembangunan. Sudah waktunya Indonesia kembali ke jati dirinya sebagai bangsa yang damai dan bertoleransi. Sungguh damai itu menyejukkan hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H