Festival Film Indonesia tahun ini memang bertemakan restorasi film. Dan sebagai ajang pembuka rangkaian FFI maka diputarlah Tiga Dara yang diproduksi tahun 1956 dan berhasil direstorasi, termasuk diselenggarakan juga Konser Tiga Dara yang menampilkan lagu-lagu yang dinyanyikan dalam film tersebut dalam balutan orkestra. Namun setelah menilik film Tiga Dara, saya berpendapat restorasi film bukan sekedar menyelamatkan film lawas, ada berbagai manfaat lainnya yang tak kalah penting.
Berita yang marak tentang restorasi film Tiga Dara yang memakan waktu selama 17 bulan membuat saya penasaran untuk menontonnya. Apalagi bulan September akan dirilis film Ini Kisah Tiga Dara yang dibintangi Shanty Paredes, Tara Basro dan Tantyana Akman, yang terinspirasi dari kisah Tiga Dara. Rasanya kurang afdol jika menonton film yang disutradarai Nia Dinata apabila tidak menyimak film pendahulunya
Akhirnya Jumat lalu, 12 Agustus, saya pun menonton sendirian di Taman Ismail Marzuki, salah satu bioskop yang ditunjuk memutar Tiga Dara. Eh tidak sendirian ding, ada beberapa penonton yang bisa dihitung dengan jari, menemani saya menonton film yang dibintangi Chitra Dewi, Mike Wijaya dan Indriati Iskak ini. Jumlah penonton yang minim membuat bioskop terasa milik pribadi.
Tidak ada ekspektasi apapun ketika menonton film yang bergenre drama ini. Akan tetali, seusai menontonnya saya merasa begitu puas dan terhibur. Saya kenyang tertawa melihat adegannya yang mengguncang tawa secara natural.
Rupanya adegan yang bisa membuat penonton tertawa itu abadi, tidak terbatasi oleh waktu. Alhasil secara keseluruhan untuk Tiga Dara yang disutradarai oleh Usmar Ismail ini dari segi akting, alur cerita, musik, dan sinematografi saya memberinya skor 8/10. Skornya tidak kalah dengan 3 Srikandi yang baru tayang beberapa waktu lalu.
Si sulung ini berdandan konservatif dan anggun dengan kebaya bersanggul serta tipe ibu rumah tangga sejati, berbeda dengan kedua adiknya, Nana (Mieke Wijaya) dan Nenny yang modis dan tergolong remaja gaul dan modern masa itu.
Pasca menyaksikan Tiga Dara, saya paham mengapa restorasi itu penting. Bukan hanya pecinta film yang diuntungkan dengan menonton film-film jaman dulu yang legendaris, melainkan juga sejahrawan, pengamat budaya, juga mereka yang bergelut dengan dunia tulis-menulis seperti peneliti dan kalangan akademisi.
Dari film Tiga Dara, saya bisa mengamati suasana Jakarta dan Bandung pada pertengahan tahun 1950-an yang jalan-jalannya masih banyak yang lengang dan tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Salah satu adegan rupanya berlokasi di kawasan Blok M, yang tentunya sangat jauh berbeda dengan Blok M masa kini.
Alat transportasi yang umum masa itu adalah sepeda dan becak. Ada juga mobil dan skuter namun jumlahnya terbatas dan hanya mereka yang menengah ke atas memilikinya.
Perempuan kotanya juga modern seperti saat ini dengan naik skuter, bersepatu roda, pandai bergitar dan berpiano, dan mengikuti perkembangan terkini. Saya agak terkejut juga melihat situasi dan kondisi kota besar masa itu karena saat itu baru 11 tahun Indonesia merdeka dan baru sekitar enam tahunan Indonesia benar-benar bebas dari baku hantam senjata. Alhasil bayangan saya untuk daerah perkotaan pertengahan tahun 1950-an agak berbeda dengan yang saya bayangkan masa kini.
Setelah Tiga Dara, saya melihat cuplikan film hasil restorasi lainnya. Film restorasi pertama yang sukses dilakukan, namun proses restorasi fisik dan digitalnya dilakukan oleh L’Immaginary di Bologna, Italia. Film tersebut berjudul Lewat Djam Malam yang diproduksi tahun 1954.
Sama dengan Tiga Dara, film Lewat Djam Malam juga film lawas yang legendaris, bahkan meraih piala citra pertama untuk kategori film dan aktor terbaik untuk A.N. Alcaff. Film yang berkisah tentang kekecewaan mantan tentara bernama Iskandar atas korupsi yang mulai carut-marut di Indonesia ini ditayangkan terbatas pada tahun 2012. mengapa berjudul Lewat Djam Malam? Rupanya hal ini dikarenakan adanya aturan jam malam yang diterapkan di Bandung pasca Indonesia merdeka.
Setelah melihat cuplikan film Lewat Djam Malam di youtube saya melihat kualitas film yang apik dan tema yang relevan hingga saat ini, yaitu korupsi yang mulai menghinggapi pemerintahan di Indonesia. Suasana Bandung tahun 50-an terlihat di sini juga gaya berbusana khas tahun tersebut.
Hingga sebelum merdeka sudah dihasilkan 11 film dan sebelum tahun 1970 sudah ada sekitar 140-an film. Produksi film Indonesia naik pesat pada periode 1970-1990 dengan produksi tertinggi pada tahun 1990 dengan 65 film. Lantas sejak tahun 1993-1999 dunia perfilman mulai mati suri dan hanya menghasilkan film yang bisa dihitung dengan jari.
Baru menginjak tahun 2000, industri film mulai bangkit dengan Petualangan Sherina dan jumlah produksinya terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada tahun 2013 dengan 115 film. Alhasil hingga saat ini sudah ada lebih dari 2000-an film nasional. Jumlah yang cukup berlimpah.
Dari judul-judul dan sinopsis singkat film sebelum tahun 60-an menunjukkan keberagaman tema film dan membuat saya penasaran seperti apakah proses syutingnya, bagaimana editing-nya dan lain-lain. Tentunya pada film juga menunjukkan budaya pada masa itu dan pesan yang ingin disampaikan, seperti kekuatiran akan merajalelanya korupsi di Lewat Djam Malam atau tentang pesan pluralisme seperti yang sering terlihat pada film karya Hanung.
Suasana masa itu dan tren anak muda juga terlihat pada film seperti pada Ada Apa dengan Cinta dimana penonton bisa melihat banyaknya pedagang buku di daerah Kwitang yang sejak akhir tajun 2000-an pindah ke kawasan Senen. Penonton juga bisa melihat tren seragam SMA saat itu yang remaja perempuannya suka mengenakan kaus kaki tinggi dan rok seragam di atas lutut dimana tentunya berbeda dengan kondisi di beberapa sekolah saat ini.
Menurut saya restorasi film itu penting karena merupakan aset bernilai sejarah baik sejarah perfilman itu sendiri, maupun sejarah kultural, sejarah seni, dan sebagainya. Dari 2000-an film yang tekah diproduksi, semuanya berisiko rusak secara fisik karena pita seluloid rentan dan memerlukan ruang penyimpanan yang baik.
Akan tetapi tentunya tidak semua film serta-merta direstorasi, akan tetapi bisa diprioritasi berdasarkan kualitas dan tingkat kerusakannya. Jangan hanya karena film lawas maka film tersebut masuk daftar utama film yang perlu direstorasi karena ada beberapa film lawas yang vulgar.
Wah jadi ingin menonton film Lewat Djam Malam secara utuh. Apalagi film ini juga sempat ditayangkan di festival Cannes. Saya dulu sempat was-was film ini akan dimiliki oleh Museum Singapura karena merupakan inisiasi mereka, untunglah kekuatiran saya salah dan hak milik film ini pasca restorasi menjadi milik Sinematek Indonesia.