[caption caption="Sop buntut istana penampakannya lebih sederhana daripada sop buntut ala resto tapi dari segi rasa tak kalah lezat"][/caption]
Kompasianer Penggila Kuliner (KPK) beberapa waktu lalu mendapat momen langka. Jika biasanya KPK sebatas gerebek festival makanan atau tempat makan tertentu, pada 12/12 lalu KPK gerebek istana negara. Seperti apa sih sajian istana? Apakah cita rasanya begitu dahsyat mengguncang lidah?
Saat ditelpon untuk menghadiri makan siang di istana, saya tidak berpikir muluk-muluk. Memang ini kesempatan istimewa dan kehormatan bagi rakyat awam seperti saya, tapi karena saya bukan lover/hater Presiden Joko Widodo, maka saya punya agenda tertentu di acara ini. Tidak lain adalah menjalankan fungsi sebagai anggota KPK. Icip-icip masakan istana sambil merasai nuansa bersantap siang di istana negara.
Toh artikel yang menulis tentang jalannya acara, pesan yang disampaikan perwakilan kompasianer dan nasihat Presiden sudah banyak. Jadi saya ingin menulis sesuatu yang berbeda, yang ringan, tapi berkesan di lidah dan ingatan.
Saat memasuki ruangan, kami lalu disila untuk menempati meja bertaplak putih yang telah disiapkan. Di meja sudah ada segelas air minum, serbet, dan alat makan. Saya berpikir-pikir apakah cara makannya bakal dilayani atau ala prasmanan. Tapi melihat peralatan makannya yang tidak banyak dan melihat deretan masakan di meja sebelah, saya kontan berkomentar, oh ala prasmanan. Lebih santai dan praktis.
Hanya ada dua deret meja panjang dengan menu yang sama. Tidak ada gubuk-gubuk. Tidak mewah. Seperti hendak makan siang di acara-acara biasa.
Sambil menunggu kehadiran Presiden, saya mengamati lampu-lampu kristal yang menghiasi langit-langit. Bangunan ini nampak klasik dengan lampu kristal sekaligus etnik karena ada sentuhan Jawa di ukir-ukiran. Dan pasti akan semakin bernuansa romantis pada malam hari. Di dinding juga terpasang wajah-wajah para Presiden yang pernah memimpin bangsa Indonesia.
Mengisi waktu kami lalu menebak-nebak kira-kira makanan apa yang bakal kami santap. Apakah masakan Surakarta dengan nasi liwet, serabi, dan dawet ataukah masakan nusantara lainnya?
Belum selesai ngerumpi, Presiden Jokowi pun hadir dan kami langsung diajak makan. Suasananya tidak begitu formal sehingga kompasianer pun langsung antri makan di
belakang Jokowi.
Rupanya tidak begitu banyak jenis masakan yang dihidangkan. Menunya perpaduan nusantara dan mancanegara. Tidak ada tema khusus.
Ada apa aja ya di meja? Ada sop buntut, udang gulung, martabak bayam dengan rempah-rempah, ayam, nasi kebuli, ayam bumbu rujak, lontong dan sambal. Lontong ini mungkin kawan untuk santap sop jika enggan menyantap nasi.
Selanjutnya, ada kentang goreng, roti bundar mungil, sejenis martabak, sate daging, dan urap-urap juga ada es buah. Mohon maaf jika ada yang terlewat dan salah menyebut nama masakan.
Untuk santap pertama saya mencobai sop buntut, sedikit nasi, satu potong martabak bayam, dan sebuah udang gulung. Saya sengaja ambil porsi kecil karena ingin mencicipi makanan selanjutnya.
Dari santapan pertama itu yang paling juara adalah sop buntutnya. Penampakan sop buntutnya agak berbeda dengan yang biasa saya santap. Lebih bening, ada irisan tomat merah dan daging bergajih, dan lebih kemerahan. Bisa ditambahkan jeruk nipis agar rasanya lebih segar.
Oleh karena sedang batuk, makanan ini sangat pas di tenggorokan. Kuahnya kontan menghangatkan tenggorokan. Dagingnya yang sedikit berlemak mudah digigit sehingga seperti meluncur di tenggorokan. Mantap.
Berikutnya baru martabak yang di dalamnya seperti menimbun sayuran hijau. Dugaan saya tepat, sayuran itu adalah bayam.
Martabaknya beda dengan martabak ala Indonesia. Martabak bayam ini menggunakan cita rasa ala India. Kurang cocok untuk lidah saya, tapi bu Ngesti menyukainya.
Begitu juga dengan udang gulung tepungnya. Ada sentuhan bumbu India. Saya terpaksa ambil isiannya saja karena lidah saya Indonesia banget. Sedangkan nasinya mirip dengan nasi ketan. Untuk ronde pertama, sop buntut juaranya. Saya memberi nilai 8,5/10.
Drenggg...ronde berikutnya. Saya agak malu maju lagi ke meja prasmanan. Tidak banyak yang lanjut ronde kedua. Berhubung teman satu meja masih sibuk dengan sajian di piring, saya rasa tak masalah untuk meneruskan misi saya memuaskan rasa penasaran akan santapan istana.
Saya ambil dua batang kentang goreng, sekerat roti mungil, seporsi mungil martabak, setusuk sate daging dan sesendok urap-urap. Sebenarnya mau ambil es buah, tapi karena sedang batuk akhirnya saya batalkan.
Ronde kedua pun dimulai. Kentang gorengnya biasa, martabaknya yang tipis agak kenyal tetap bernuansa India, urap-urapnya segar dan roti mungilnya yang tawar aroma raginya cukup kuat.
Sedangkan sate dagingnya wah enak banget. Dagingnya tidak alot, bisa diambil dengan bantuan garpu dan sendok jika enggan dimakan langsung dengan tusuknya.
Daging yang empuk dengan bumbu yang merasuk lalu dibakar dengan api perlahan-lahan. Matangnya pas, di sate yang saya ambil tidak ada bagian yang gosong. Rasanya agak mirip dengan sate komoh ala Malang cuma bumbunya tidak setebal di Malang dan lebih kering. Tapi sate ini memang nikmat. Teman-teman pun kompak menyebut sate daging ini lezat. Nilainya 8/10 Â karena yang 8,5 itu menurut saya lebih pas disematkan ke sate komoh khas Malang yang wajib dicicipi saat ke Malang.
Akhirnya setelah mengumpulkan nilai, juaranya adalah sop buntut dan sate daging. Makanan lain ada yang kurang sesuai selera saya dan rasanya biasa-biasa saja, tapi dua jenis masakan ini bisa dibilang juaranya.
Tapi ini pendapat lidah awam lho. Anggota KPK lainnya, bang Rahab dan mas Agung nampak anteng-anteng saja dan begitu menikmati makanan. Pak Sutiono Gunadi dan Mba Muthiah juga berkonsentrasi dengan makanan di piringnya. Sedangkan bu Ngesti sibuk mengedarkan matanya mencari tanda-tanda kopi hitam hangat yang merupakan kegemarannya.
Masakan bisa jadi istimewa karena tempat dan momennya. Dan saya rasa meski hanya dua di antara masakan lainnya yang berasa juara tapi karena momennya langka dan tempatnya istimewa, maka acara makan siang ini bagi saya pun jadi luar biasa.
Sambil mendengarkan para perwakilan kompasianer menyampaikan buah pikirannya, pikiran saya melambung ke masa lalu. Saya bayangkan pendiri bangsa asyik bercakap-cakap dengan pemimpin negara lain atau ketika empat sekawan pendiri bangsa membahas masa depan bangsa. Mereka riung mengobrolkan sop buntut dan sate daging yang lezat. Bumbune opo toh, cara masake koyok opo kok iso eco koyok ngene... (bumbunya apa dan cara masaknya seperti apa, kok bisa enak seperti ini?).
Ilustrasi gambar: santap siang sop buntut di sebuah acara di resto Jaksel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H