Akhirnya saat itu saya merasakan naik ekonomi AC ke Depok dari Cikini pada akhir pekan. Enak dan nyaman. Saya dapat tempat duduk dan AC-nya pun jalan. Respon saya mulai positif, asalkan menggunakan ekonomi AC yang tarifnya berkisar Rp 5500 saat itu, tidak apa-apa naik KRL. Jika sendirian saya pilih ekonomi AC dan ekspres. Tapi jika rame-rame, saya berani naik yang ekonomi. Lumayan cepat naik KRL, tidak sampai satu jam durasinya dari UI ke Salemba dan tarifnya tidak sampai Rp 4 ribu untuk naik KRL dan kopaja. Jika naik bus dan angkot bisa 10 ribu lebih dan waktunya bisa dua jam sendiri.
Setelah lebih banyak beraktivitas di Depok, saya makin jarang menggunakan KRL. Tapi saya terus mengikuti perkembangannya dari rekan-rekan sekantor yang setiap harinya mengandalkan KRL untuk pergi dan pulang kerja.
Tahun 2011 KCJ membuat ramai medsos dengan dihapuskannya KRL ekspres. Wah teman-teman sampai rame membicarakannya berhari-hari. Banyak yang kecewa karena dengan adanya KRL ekspres, perjalanan jauh lebih cepat dan nyaman. Tapi rupanya KCJ memberikan gantinya yang setimpal seperti adanya gerbong khusus wanita sehingga diharapkan bebas dari pelecehan seksual dan lebih nyaman.
[caption caption="Gerbong wanita tersedia di setiap rangkaian komuter di gerbong paling depan dan paling belakang"]
KCJ kemudian menawarkan terobosan dengan memperbaiki KRL ekonomi menjadi nyaman sekelas ekonomi-AC. Gerbong pun steril dari pedagang dan stasiun KA menjadi nyaman dan bersih. Dan kemudian Juli 2013 dilakukan penerapan tiket elektronik. Wah-wah saat itu implementasinya tidak berjalan mulus. Ada juga penumpang yang resisten. Tapi berkat sosialisasi yang baik dan kebijakan yang tepat dimana tetap ada tiket harian selain tiket multitrip bagi mereka yang jarang bepergian dengan KRL, maka implementasi tiket elektronik kemudian berhasil dilaksanakan. Saya sendiri lebih sering menggunakan e-money dan Kriko yang bekerja sama dengan BCA Flash karena juga bisa digunakan untuk naik Trans Jakarta.
[caption caption="Sistem tiket elektronik dimana pengguna KCJ harus tap in dan tap out sebelum/sesudah menumpang komuter"]
Â
Stasiun pun berbenah. Bangunannya dipercantik dan dibuat agar semakin nyaman. Stasiun Palmerah menjadi sangat cantik dengan toilet dan mushola yang bersih dan nyaman. Ada jembatan penyeberangan di berbagai stasiun seperti di Stasiun Tanjung Barat sehingga lebih nyaman. Ada juga papan informasi yang menunjukkan kondisi kereta di Stasiun Sudirman. Aplikasi berbasis android terkait perjalanan KCJ pun pun tersedia seperti KCJ Train sehingga masyarakat bisa mengakses informasi jadwal, keterlambatan kereta, dan sebagainya lewat smartphone.
 [caption caption="KCJ Train salah satu aplikasi berbasis android"]
Saat ini sudah ada beberapa kereta dengan 10 gerbong. Dan sedang dibahas integrasi antara KCJ dan Trans Jakarta, dimana stasiun yang memungkinkan adalah Stasiun Tebet dan Stasiun Manggarai. Saat ini sedang digodok apakah memang layak dan dapat diimplementasikan dan seperti apa teknisnya.
Jika dulu saya lebih sering naik bus atau angkutan umum lainnya yang melewati macetnya jalanan, kini saya mulai lebih sering menggunakan KCJ terutama jika ikut acara nangkring di Kompasiana. Dari Jaktim ke Slipi bisa empat jam lewat rute jalan raya biasa saat macet, sementara naik KCJ bisa menghemat waktu setengahnya. Hemat waktu berarti juga hemat energi dan tidak membuang-buang semangat dan mood baik. Sehingga  KCJ bisa disebut best choice for urban transport dan semakin banyak masyarakat Jabodetabek yang cinta KRL.