[caption caption="Poster Film Brush with Danger"][/caption]Sejak penghujung tahun 2014, film Brush with Danger telah bergema di kalangan penggemar film. Yang mencolok dari film ini adalah sutradara dan pemeran utamanya, Livi Zheng, lahir di Jawa Timur, dan filmnya berhasil tayang di berbagai bioskop di Amerika Serikat. Hemmm apakah filmnya seapik seperti promonya?
Terdorong oleh rasa penasaran akan film karya sutradara kelahiran Indonesia, saya pun langsung mendaftar sebagai peserta nobar Komik yang diadakan Sabtu (21/11) di Epicentrum 21. Yang seru acara ini juga dihadiri oleh Livi Zheng.
Sutradara film laga ini rupanya masih muda, baru 25 tahun, dan nampak cantik dengan make up tipis, setelan celana dan blus-blazer hitam dan rambut sebahunya yang digerai. Ia ramah dan rame menanggapi pertanyaan para kompasianer seputar produksi filmnya dan tak menolak diajak berfoto oleh kompasianer dan pengunjung lainnya.
Kehadiran film anak negeri di Holywood memang prestasi tersendiri di kancah perfilman nasional. Prestasi Livi Zheng seolah melengkapi nama-nama seperti Iko Uwais, Yayan Ruhian, dan Joe Taslim yang sukses dengan The Raid dan telah diajak bergabung di film internasional lainnya.
Brush with Danger berkisah tentang kakak beradik Alice dan Ken Qiang yang menjadi imigran gelap di negeri Pam Sam untuk mencoba peruntungan hidup. Bisa selamat di negeri tujuan setelah terkantung-kantung di kapal kargo bagi keduanya sudah luar biasa. Apalagi jika lolos dari razia polisi dan dinas sosial dan kemudian mendapat pekerjaan yang layak agar dapat mengajak ayah mereka untuk tinggal bersama mereka.
Amerika Serikat tidak menawarkan keberuntungan bagi setiap orang. Tidak ada tempat tinggal dan makanan yang layak. Uang simpanan mereka pun dirampas. Alhasil mereka mengambil roti sisa di tong sampah dan mencoba menjual lukisan-lukisan karya Alice.
Sayangnya tidak ada pengunjung yang melirik lukisan Alice. Si adik pun mencoba mengumpulkan uang dengan beratraksi menampilkan ketangkasannya bela diri. Ia mengajak kakaknya bergabung. Hasil atraksi tersebut lumayan.
Cerita lalu bergulir dengan aksi penyelamatan tas milik pemilik kedai burger yang kemudian menjadi sahabat mereka selama di Amerika. Namun pertemuan paling mengubah hidup mereka adalah bersama Justus Sullivan, pemilik galeri lukisan yang mengetahui bakat Alice.
Ia memanjakan kedua kakak beradik tersebut sebelum kemudian meminta Alice melakukan sesuatu tindakan tak terpuji di karya seni, yakni melakukan peniruan lukisan terkenal, dimana motifnya tak disadari oleh Alice. Aksi peniruan lukisan yang melibatkan sindikat penjahat internasional inipun mengancam nasib Alice dan adiknya.
Selama 90 menit saya menonton Brush with Danger saya tidak merasa bosan malah saya merasa durasinya kurang. Kok sudah mau selesai saja. Rasanya masih ingin terus menonton aksi laganya
Ada beberapa catatan saya tentang film ini yang kiranya dapat menjadi kritik membangun untuk peningkatan kualitas film Livi Zheng berikutnya. Mulai segi plot, detail film, kualitas akting, sinematografi, hingga koreografi pertarungan.
 [caption caption="Kompasianer Indah Noing Berfoto Bersama Livi Zheng"]
Dari segi alur cerita, film Brush with Danger termasuk sederhana dan mudah ditebak. Film ini bakal lebih baik lagi jika latar belakang karakter tokoh utamanya lebih banyak digali. Siapa kakak beradik Qiang tersebut di Tiongkok dan ada permasalahan apa yang membuat mereka lebih memilih meninggalkan tanah kelahiran mereka tersebut?
Di sini setting ceritanya memang kurang jelas, apakah tahun 1989 terkait dengan tragedi Tiananmen ataukah kondisi riil karena sudah ada perangkat gadget yang canggih. Lantas mengapa si adik dilarang bertarung, ada alasan khususkah di masa lalu? Penggalian karakter dan kisah hidup tokoh utama bisa dilakukan dengan adegan flashback untuk menghemat durasi.
Selain itu dari segi alur, alur ceritanya sederhana. Tidak ada misteri. Semuanya sudah tersaji di awal siapa tokoh protogonisnya siapa tokoh penjahatnya.
Tentang lukisan, Vincent van Gogh menurut saya termasuk lukisan yang sulit untuk ditiru. Bukan hanya dari segi cat melainkan juga karakter lukisannya yang khas dan kecenderungannya bermain-main dengan warna-warna cerah. Tapi uniknya ada satu desa di Tiongkok yang terkenal sebagai penghasil karya tiruan Van Gogh yakni Sunflowers series. Akan lebih baik lagi jika karakter lukisan Van Gogh dan desa peniru tersebut lebih banyak digali, karena film ini terkait dengan seni lukis sehingga profesi tokoh utama bukan hanya sekedar tempelan.
Untuk akting, menurut saya masih jauh dan perlu banyak diasah. Mungkin Livi Zheng lebih pas berada di kursi sutradara dibandingkan sebagai aktris karena ada beberapa adegan yang blank. Ia terlihat masih mikir dan terkadang pandangannya kosong. Adiknya, Ken Zheng berakting lebih natural karena perannya mudah disukai sebagai remaja yang ceria dan penuh semangat.
Dari sinematografi masih perlu lagi ditingkatkan. Saat ini malah banyak film Indonesia yang kualitas sinematografinya malah patut diacungi jempol. Dan yang terakhir yakni koreografi pertarungan yang bagi saya masih kurang asyik dinikmati.
Kritikan di atas semata-mata demi peningkatan kualitas film Livi Zheng ke depannya. Meskipun ada beberapa keterbatasan, film Brush with Danger ini menghibur. Saya suka dialog humornya yang ringan namun bisa mengundang tawa. Bagi yang penasaran, sila tonton filmnya yang bakal tayang sejak tanggal 26 November di Indonesia.
Terus semangat berkarya Livi Zheng!
Â
Detail Film:
Judul : Brush with Danger
Sutradara : Livi Zheng
Pemeran : Livi Zheng, Ken Zheng, Nikita Breznikov, Norman Newkirk, Stephanie Hilbert, dan Michael Blend
Genre : Laga
Rating : 7/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H