[caption caption="Cagar Budaya untuk Mengingatkan Penjajahan di Indonesia Memang Pernah Terjadi (dokpri)"][/caption]
“Bukan mengingat kejayaan penjajah..” itulah pesan yang tertera di depan museum yang berada di pulau Onrust. Berkembangnya daya tarik keempat pulau Teluk Jakarta, pulau Bidadari, Kelor, Cipir, dan Onrust sebagai wisata bahari plus wisata heritage saat ini memang bukan dimaksudkan untuk mengenang kejayaan VOC, melainkan mengingatkan pada generasi muda bahwa penjajahan di bumi Indonesia itu nyata dan penjajahan oleh VOC itu bermula dari pulau Onrust.
Ini kunjungan kedua saya ketiga pulau yang lokasinya berdekatan dengan pulau Bidadari. Dulu saya lebih memperhatikan wisata baharinya, namun pada acara Kompasiana Blogtrip Pesona Bahari bekerja sama Kementerian Pariwisata (24-25 Oktober) ini saya banyak mendapatkan pengetahuan sejarahnya.
[caption caption="Yuk Jelajah Pulau Cagar Budaya (dokpri)"]
Empat pulau di Teluk Jakarta ini memang layak menjadi cagar budaya nasional karena menyimpan jejak sejarah nasional. Usulan cagar budaya kepada UNESCO yang akan dilakukan 30 Oktober mendatang saya rasa juga tepat untuk mendorong pemerintah dan masyarakat untuk lebih peduli dan menjaga cagar budaya di empat pulau ini karena gelar tersebut sewaktu-waktu bisa dicabut oleh UNESCO.
Eksplorasi keempat pulau ini menjadi rangkaian acara Kompasiana Blogtrip Pesona Indonesia dengan tema Pesona Bahari (artikelnya bisa dibaca di sini). Setelah eksplorasi pulau Bidadari (artikel berjudul Pulau Bidadari: Pulau Cantik Plus Cagar Budaya dan Konservasi Elang Bondol), maka setelah ishoma kami menuju ketiga pulau diawali dengan pulau Onrust.
Pak Candrian Attahiyat, narasumber dan pakar sejarah, bersikeras pulau Onrust menjadi pulau pertama yang dikunjungi oleh karena pulau ini menjadi titik awal penjajahan di Indonesia. Selain itu, pulau ini paling lengkap menyimpan sejarah sejak jaman VOC, kehadiran Inggris, penjajahan Jepang, hingga digunakan sebagai eksekusi tahanan politik dan tempat penampungan gepeng (pengemis dan gelandangan) setelah era kemerdekaan RI.
[caption caption="Selamat Datang di Pulau Onrust (dokpri)"]
Pulau Onrust memiliki banyak reruntuhan. Yang paling mencolok adalah reruntuhan barak dan asrama karantina haji. Reruntuhan ini diteduhi oleh pepohonan yang tumbuh subur di pulau ini.
[caption caption="Berdiskusi di Tengah Reruntuhan (dokpri)"]
Di sela-sela sisa-sisa barak, Pak Candrian menjelaskan tentang sejarah pulau Onrust. Oleh karena dikuatirkan membawa paham baru maka para jamaah yang telah melakukan ibadah di Mekah dikarantina terlebih dahulu dan diberi gelar haji untuk membedakan. Bagi haji yang sakit maka akan dikirim ke pulau Cipir termasuk yang menderita TBC karena di pulau tersebut juga terdapat sanatorium.
Di pusat karantina haji ini terdapat barak, sumur air tawar, dan tempat mencuci pakaian yang sisa-sisa bangunannya masih terlihat. Juga terdapat pagar baja anti tikus untuk mencegah penyakit karena kencing air tikus yang membahayakan dan menjadi endemik di pulau Jawa.
Sebelum menjadi karantina haji pada tahun 1900-an, pulau Onrust lebih dikenal sebagai pulau kapal karena menjadi pusat galangan kapal. Selain sebagai pusat galangan kapal, pulau Onrust juga menjadi benteng pertahanan utara untuk melindungi Batavia. Benteng ini mulai dibangun sejak tahun 1656 dan dilengkapi gudang amunisi.
[caption caption="Onrust Pada Masa Lalu (dokpri)"]
Oleh karena jalur niaga laut pada abad ke-17 sangat vital, maka dermaga dibangun terlebih dahulu di pulau Onrust, yakni pada tahun 1610, setelah Jayakarta jatuh ke tangan VOC. Menyusul kemudian di pulau Cipir pada tahun 1668. Selanjutnya, pulau Onrust menjadi tempat perbaikan dan pembuatan kapal sejak tahun 1615.
Di pulau Onrust dari maket yang terdapat di museum, terdapat gereja, rumah-rumah pegawai dimana keseluruhan hancur oleh serangan Inggris. Setelah Inggris pergi maka pulau ini menjadi karantina haji selanjutnya menjadi tahanan Jepang dan tempat eksekusi pemberontak dimana diduga salah satu dari tiga makam yang terdapat di pulau Onrust adalah makam pimpinan DI/TII Kartasoewiryo
Di pulau ini juga terdapat mitos usia pendek dan mitos tentang wanita cantik bernama Maria. Rata-rata penduduk pulau ini meninggal muda termasuk Maria, hanya ada satu makam yang meninggal pada usia 43 tahun yakni makam petugas VOC bernama Cornellis W. Vogel. Hal ini dikarenakan sanitasi yang buruk dan udara yang mengandung blue clay yang tidak cocok bagi bangsa kulit putih.
[caption caption="Makam Maria (dokpri)"]
Sementara pulau Cipir tidak jadi kami datangi karena keterbatasan waktu, hanya dikelilingi oleh kapal. Saat kunjungan akhir 2013, saya sempat berkunjung ke pulau Cipir. Pulau ini lebih difokuskan sebagai rumah sakit bagi haji, di dalamnya juga ada sanatorium. Kondisinya sama seperti pulau Onrust, hanya tinggal reruntuhan.
[caption caption="Pulau Cipir yang Saya Kunjungi Akhir Tahun 2013 (dokpri)"]
Sedangkan di pulau terakhir, yakni pulau Kelor para peserta Blogtrip nampak kegirangan melihat pulau mungil selebar daun Kelor yang cantik. Pasirnya putih dan nampak klasik oleh kehadiran bentang Martello yang berbentuk lingkaran. Benteng yang dibangun pada abad ke-17 ini terbuat dari bata merah untuk menjaga Batavia.
[caption caption="Benteng Martello di Pulau Kelor (dokpri)"]
Benteng ini rusak oleh tsunami karena letusan dahsyat Krakatau pada tahun 1883, seperti juga yang menimpa pada pulau Onrust dan pulau Cipir. Selain itu, pulau ini semakin terkikis oleh abrasi sehingga kemudian dibuat pemecah gelombang. Di antara ketiga pulau, pulau ini yang paling banyak menjadi obyek untuk berfoto karena panoramanya yang paling eksotis oleh pasir putih.
[caption caption="Pulau Kelor yang Cantik (dokpri)"]
Pelestarian Cagar Budaya vs Kepentingan Pariwisata
Sejak tahun 2014, keempat pulau di Teluk Jakarta ini masuk dalam program rencana revitalisasi Kota Tua Jakarta karena merupakan bagian dari sejarah Batavia. Untuk itu pemerintah DKI Jakarta berupaya membenahi pulau-pulau ini untuk dikembangkan sebagai open air museum.
Menurut Pak Candrian saat ini fungsi pengawasan pada pulau-pulau ini masih kurang. Masih banyak pengunjung yang bertenda di dekat lokasi cagar budaya. Para nelayan dan wisatawan juga bisa datang kapan saja dan aktivitas yang mereka lakukan kurang terpantau.
Sementara itu, beberapa kompasianer seusai kunjungan ke ketiga pulau tersebut menilai pembangunan beberapa fasilitas umum di pulau Onrust dan pulau Kelor membuat suasana di pulau tersebut terasa ganjil. Kehadiran bangunan modern di Pulau Kelor nampak tidak sinkron dengan benteng Martello yang sudah lebih dulu hadir. Seorang kompasianer menyeletuk jika bentuk bangunan tersebut mirip kantor pemasaran perumahan. Begitu pula dengan adanya kincir angin dan gerbang makam Belanda di pulau Onrust, arsitekturnya terasa modern sangat kontras dengan desain makam dan nuansa pulau yang terkesan klasik.
[caption caption="Gerbang Makam Modern di pulau Onrust (dokpri)"]
Penambahan fasilitas umum agar pengunjung makin nyaman sebenarnya sah-sah saja, namun sebaiknya melibatkan pakar sejarah sehingga tidak merusak nuansa yang ingin dihadirkan. Konsep open air museum menurut saya sudah pas dengan melestarikan pulau tetap seperti apa adanya. Penambahan bangunan modern mungkin bisa dibuat seperti teater yang memutar film dokumenter tentang sejarah yang tersimpan di pulau tersebut.
Tentang rencana pengelola taman arkeologi Onrust untuk menambah fasilitas akomodasi bagi wisatawan menginap saya rasa kurang perlu karena dikuatirkan akan menganggu kelestarian cagar budaya di pulau ini. Dari diskusi kompasianer bersama Pak Candrian selepas acara kunjungan ketiga pulau, ada beberapa usulan yang menarik tentang kelestarian cagar budaya ini.
Memang ketiga pulau ini bisa menjadi daya tarik pariwisata sehingga menghasilkan pendapatan daerah. Namun, kelestarian cagar budaya tetap harus diperhatikan jangan sampai kepentingan ekonomi merusak kelestarian cagar budaya. Penambahan fasilitas umum dan pendirian bangunan modern setidaknya melibatkan pakar sejarah agar tidak merusak nuansa cagar budaya tersebut.
[caption caption="Bangunan Modern yang Kurang Sinkron di Pulau Kelor (dokpri)"]
Saya setuju dengan pandangan Pak Candrian untuk menjaga wibawa arkeologi dari ketiga pulau tersebut agar tidak diacak-acak secara masal. Ide pembatasan pengunjung mungkin kurang menguntungkan dari sisi ekonomi, namun akan menjaga agar cagar budaya di pulau ini tetap lestari. Pengunjung bisa mendaftar untuk berkunjung atau menjadi sukarelawan penelitian arkeologi di pulau-pulau tersebut. Dengan demikian rekaman sejarah di pulau Cipir, Kelor, dan Onrust akan tetap eksis dan bisa diwariskan ke generasi mendatang. Apabila hal tersebut masih sulit dilakukan, maka pengunjung perlu dibekali kesadaran dan wawasan sejarah tentang pulau-pulau bersejarah ini agar mereka sadar bahwa pulau ini bukan hanya menyimpan pesona bahari namun juga kaya warisan heritage.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H