Purworejo kondang akan dawet hitamnya. Karena Daendels ini juga melewati Purworejo maka ada beberapa warung dawet. Kami singgah di Dawet Ibu Ngatmini, seorang nenek yang masih bersemangat berjualan dawet.
 [caption caption="Nenek Ini Masih Telaten Menyiapkan dan Melayani Pembeli"]
Sudah bertahun-tahun ia menjajakan dawet di kedainya yang sederhana. Selain dawet, di situ ada berbagai kudapan. Kami langsung memesan dua mangkok es dawet hitam.
Es dawet ini dibuatnya sendiri. Untuk warna hitamnya ia menggunakan pewarna alami dari merang. Ia tak tergiur menggunakan pewarna buatan meskipun prosesnya bakal lebih mudah.
Es dawetnya cantik disajikan dalam mangkok dengan paduan dawet hitam dan kuah santan putih yang alami bukan santan kemasan. Setelah diaduk, kuah menjadi kecokelatan karena menggunakan gula merah. Manis dan gurihnya pas...hemmm segar. Perporsinya cukup murah hanya Rp 3 ribu/mangkok.
[caption caption="Kombinasi Gurih Santan dan Legitnya Gula Merah"]
Saat kami bersantap dawet, ada dua pemuda yang langganan dawet di tempat tersebut. Kata Bu Ngatmini, beberapa langganannya akrab dengan dirinya, sambil maem dawet, nengok mbahe, ujarnya sambil terkekeh.
Kedai dawet sederhana ini menambah deretan kenangan saya akan perjalanan pantai selatan. Di Daendels jalan lewatkan dawet hitam. Eh ada juga sate Ambal yang terkenal di kawasan ini. Terpaksa kami lewatkan karena sudah membungkus makanan dari Kebumen. Kami pun singgah ke Pantai Glagah sebelum mengarah ke Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H