Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Wah Ternyata Saya Main Emosi di Saham

9 Oktober 2015   20:01 Diperbarui: 9 Oktober 2015   20:07 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sibuknya Para Pialang (sumber: screenshoot film Wall Street)"][/caption]

Membaca buku Ellen May berjudul Smart Traders not Gamblers membuat saya tersenyum simpul. Di situ ditekankan agar pemain saham baik untuk investasi maupun jual beli agar jangan melibatkan emosi. Wah jadi ingat pengalaman berinvestasi di bidang saham tiga tahun silam. Emosi saya benar-benar diuji. Oleh karena merasa belum lulus dalam menangani emosi, akhirnya saya menyingkir dari dunia saham.

Saya berkenalan dengan dunia saham, ketika lagi getol-getolnya belajar matematika keuangan, perencanaan keuangan, dan juga tertarik untuk belajar investasi. Setelah mengambil beberapa reksadana, ada pertanyaan dari seorang pembicara workshop. Daripada mempercayakan dana ke manajer investasi untuk reksadana saham, mengapa tidak mengelolanya sendiri?

Awalnya saya ragu-ragu untuk berinvestasi di saham. Porsi dana di reksadana saham saja tergolong kecil dibandingkan investasi yang bersifat konvensional. Tapi setelah mengikuti berbagai pelatihan saham untuk pemula dan juga mengenal berbagai metode analisis saham baik fundamental maupun teknikal, saya pun siap bergabung di dunia saham.

Ada banyak hal menarik di dunia saham. Ternyata harga saham tidak semahal yang saya kira. Dulu awal bergabung, membeli saham 1 lotnya adalah 500 lembar, sedangkan saat ini malah dipermudah dengan 1 lot sama dengan 100 lembar. Ada banyak saham yang perlembarnya di bawah seribu rupiah, jadi dengan modal Rp100- 1 juta, setiap orang dapat memiliki saham. Untuk dividen, ada perusahaan yang loyal, tapi ada juga yang pelit berbagi.

Saham yang diperjualbelikan di BEI sangat banyak dan beragam. Juga menggunakan kode atau singkatan nama seperti ROTI untuk PT Nippon Indosari Corpindo, CPIN untuk Charoen Pokphand Indonesia, TINS untuk PT Timah dan masih banyak lagi. Kategorinya juga beragam dari properti, perbankan, manufaktor, konsumsi, dan sebagainya.

Sebelum mulai membeli saham, saya mempelajari ketentuan  cara membeli, cara menawar, cara membayar saham yang dibeli, dan cara menjualnya kembali, termasuk memahami biaya administrasi untuk jual beli saham. 

Akhirnya resmilah saya menjadi salah satu pemain saham. Saya mencoba menerapkan metode fundamental dan memilih saham yang cocok dan sesuai budget. Saya juga meminta nasihat dari teman-teman yang sudah terlibat dalam dunia saham terlebih dahulu dan membaca rekomendasi saham di berbagai media.

Selang beberapa bulan kemudian saham saya tumbuh. Saya merasa gembira. Lalu ada ide untuk ikut mencoba trading. Apalagi kata teman, ada gairah saat bermain jual beli saham. Tapi ia mengingatkan agar jangan berjual beli seperti judi, tapi lewat perencanaan yang matang. Di sinilah saya menerapkan metode analisis teknikal dengan membaca grafik.

Saya tidak kemaruk. Saya membeli beberapa saham yang murah setelah mengobservasi. Saya menyebutnya dengan kulakan. Saya menawar dengan 1-2 nilai di bawahnya dan kemudian menjualnya dengan 1-2 tingkat harga di atasnya. Untung saya kecil, tapi lumayanlah. Kadang-kadang saya rugi hari itu, beberapa hari kemudian baru untung.

Setelah meraih untung selama berbulan-bulan meski nilainya kecil, saya iseng-iseng untuk mengikuti saham gorengan. Tapi saya tak pernah ikut arus terlalu lama, hanya ikut di awal dan langsung jual setelah untung 1-2 tingkat harga, takut lajunya berbalik. Saya dimarahi teman untuk berlaku seperti itu. Akhirnya saya tidak lagi ikut-ikutan menggoreng saham, hanya menonton euforia itu dari pinggiran.

Saham itu memang tidak stabil. Beberapa saham saya mulai turun tak terkendali. Saya mencoba bersikap tenang sambil berpikiran positif, pasar akan kembali normal, IHSG akan kembali naik. Tapi dugaan saya salah, beberapa saham terus menurun. Saya terus berdoa dan berharap terjadi pantulan dan arah berbalik. Tidak terjadi. Menurut Ellen May sikap saya seperti itu salah besar karena menurutkan emosi. Pemain saham harus realistis dan siap membatasi kerugian. 

Saat akhirnya saya putuskan untuk melepasnya sudah terlambat. Saya rugi meskipun jika dikalkulasi masih untung dari jual beli saham beberapa waktu sebelumnya. Oleh karena saat itu pasar masih lesu, akhirnya saya alihkan ke reksadana pasar uang.

Saat kemudian saya diundang untuk mengikuti pelatihan saham kelas menengah, saya lebih banyak belajar tentang rumor, dana asing yang keluar masuk, dan sebagainya. Rumor ternyata besar pengaruhnya pada nilai saham baik rumor politik maupun rumor di perusahaan.

Saat itu saya merasa gundah. Alih-alih ingin tetap menggeluti saham, saya merasa kadang saham tidak obyektif menilai performa suatu perusahaan. Ada perusahaan yang berperforma baik tapi sahamnya dihargai terlalu murah dan perkembangan sahamnya sangat pelan. Ada juga saham yang overprice jika melihat perusahaannya. Entah kenapa saya waktu itu jadi menyetujui pandangan pasangan jika dunia saham itu seolah semu.

Saya melihat beberapa peserta pelatihan. Di antara mereka perhatian tertuju pada layar yang tak henti-hentinya memajang daftar saham dan harga. Ada yang merah dan ada yang hijau. Saya melihat emosi mereka, ada yang marah melihat perusahaan tempat ia menaruh saham berwarna merah. Seperti saya waktu itu. Saya tak bisa bayangkan seorang kawan yang kehilangan uangnya sangat besar di dunia saham. Apakah ia tidak merasa tertekan dan sangat marah melihat dana yang dikumpulkannya bertahun-tahun lenyap di pasar saham seolah-olah berjudi? Memang benar saham itu perlu kecerdasan emosi bukan hanya berstrategi. Dan emosi mereka diuji saat pasar lesu seperti kondisi saat ini.

Rupanya mengelola emosi dengan dana besar itu sulit. Apalagi di pasar saham. Meskipun banyak pihak yang terus menyarankan untuk menginvestasikan dana di bursa saham namun harus saya akui risikonya besar dan kurang cocok untuk saya yang masih main emosi. Saya main aman dulu saja di reksadana.

Nah, saran saya bagi mereka yang ingin terjun di bidang saham. Pelajari pengetahuannya dengan baik. Lalu kelolalah emosi, sehingga bisa jadi pemain saham yang cerdas bukan seperti pemain judi.

[caption caption="Smart Traders not Gamblers Karya Ellen May"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun