[caption caption="Sibuknya Para Pialang (sumber: screenshoot film Wall Street)"][/caption]
Membaca buku Ellen May berjudul Smart Traders not Gamblers membuat saya tersenyum simpul. Di situ ditekankan agar pemain saham baik untuk investasi maupun jual beli agar jangan melibatkan emosi. Wah jadi ingat pengalaman berinvestasi di bidang saham tiga tahun silam. Emosi saya benar-benar diuji. Oleh karena merasa belum lulus dalam menangani emosi, akhirnya saya menyingkir dari dunia saham.
Saya berkenalan dengan dunia saham, ketika lagi getol-getolnya belajar matematika keuangan, perencanaan keuangan, dan juga tertarik untuk belajar investasi. Setelah mengambil beberapa reksadana, ada pertanyaan dari seorang pembicara workshop. Daripada mempercayakan dana ke manajer investasi untuk reksadana saham, mengapa tidak mengelolanya sendiri?
Awalnya saya ragu-ragu untuk berinvestasi di saham. Porsi dana di reksadana saham saja tergolong kecil dibandingkan investasi yang bersifat konvensional. Tapi setelah mengikuti berbagai pelatihan saham untuk pemula dan juga mengenal berbagai metode analisis saham baik fundamental maupun teknikal, saya pun siap bergabung di dunia saham.
Ada banyak hal menarik di dunia saham. Ternyata harga saham tidak semahal yang saya kira. Dulu awal bergabung, membeli saham 1 lotnya adalah 500 lembar, sedangkan saat ini malah dipermudah dengan 1 lot sama dengan 100 lembar. Ada banyak saham yang perlembarnya di bawah seribu rupiah, jadi dengan modal Rp100- 1 juta, setiap orang dapat memiliki saham. Untuk dividen, ada perusahaan yang loyal, tapi ada juga yang pelit berbagi.
Saham yang diperjualbelikan di BEI sangat banyak dan beragam. Juga menggunakan kode atau singkatan nama seperti ROTI untuk PT Nippon Indosari Corpindo, CPIN untuk Charoen Pokphand Indonesia, TINS untuk PT Timah dan masih banyak lagi. Kategorinya juga beragam dari properti, perbankan, manufaktor, konsumsi, dan sebagainya.
Sebelum mulai membeli saham, saya mempelajari ketentuan  cara membeli, cara menawar, cara membayar saham yang dibeli, dan cara menjualnya kembali, termasuk memahami biaya administrasi untuk jual beli saham.Â
Akhirnya resmilah saya menjadi salah satu pemain saham. Saya mencoba menerapkan metode fundamental dan memilih saham yang cocok dan sesuai budget. Saya juga meminta nasihat dari teman-teman yang sudah terlibat dalam dunia saham terlebih dahulu dan membaca rekomendasi saham di berbagai media.
Selang beberapa bulan kemudian saham saya tumbuh. Saya merasa gembira. Lalu ada ide untuk ikut mencoba trading. Apalagi kata teman, ada gairah saat bermain jual beli saham. Tapi ia mengingatkan agar jangan berjual beli seperti judi, tapi lewat perencanaan yang matang. Di sinilah saya menerapkan metode analisis teknikal dengan membaca grafik.
Saya tidak kemaruk. Saya membeli beberapa saham yang murah setelah mengobservasi. Saya menyebutnya dengan kulakan. Saya menawar dengan 1-2 nilai di bawahnya dan kemudian menjualnya dengan 1-2 tingkat harga di atasnya. Untung saya kecil, tapi lumayanlah. Kadang-kadang saya rugi hari itu, beberapa hari kemudian baru untung.
Setelah meraih untung selama berbulan-bulan meski nilainya kecil, saya iseng-iseng untuk mengikuti saham gorengan. Tapi saya tak pernah ikut arus terlalu lama, hanya ikut di awal dan langsung jual setelah untung 1-2 tingkat harga, takut lajunya berbalik. Saya dimarahi teman untuk berlaku seperti itu. Akhirnya saya tidak lagi ikut-ikutan menggoreng saham, hanya menonton euforia itu dari pinggiran.