Mohon tunggu...
Dewi Puspasari
Dewi Puspasari Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis dan Konsultan TI

Suka baca, dengar musik rock/klasik, dan nonton film unik. Juga nulis di blog: https://dewipuspasari.net; www.keblingerbuku.com; dan www.pustakakulinerku.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

KA Bima Si Rival Tangguh KA Gajayana

24 Juli 2015   08:55 Diperbarui: 4 April 2017   18:02 29251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Interior KA Bima yang Anggun"][/caption]

Jika dulu warga Arema harus puas dengan keberadaan KA Gajayana untuk pilihan kereta eksekutif ke Jakarta, maka sejak tahun 2014 ada alternatif kereta api lainnya. Kereta tersebut adalah KA Bima yang pernah menyandang kereta prestisius pada pertengahan tahun 60-an hingga akhir tahun 80-an.

Pilihan kereta ke Malang memang tidak sebanyak ke kota Yogyakarta maupun Surabaya. Dulu waktu masih kanak-kanak yang populer adalah KA Matarmaja yang masuk kelas ekonomi.

Perjalanan naik KA Matarmaja masa kanak-kanak seperti perjalanan panjang yang tak berakhir. Mau tak mau kami memilih jenis angkutan ini karena tidak ada pilihan mode transportasi lainnya seperti pesawat, kecuali jika kami singgah ke Surabaya terlebih dahulu.

Naik bus? Wah rasanya bakal sulit karena kami biasa singgah di Heurgeulis, tempat sanak saudara, yang lokasinya sangat dekat dengan stasiun kereta.

KA Gajayana baru saya cicipi waktu remaja. Asyiknya saat itu masih ada kelas bisnis dengan tarif berkisar Rp 100 ribu. Saat itu KA Gajayana kelas bisnis begitu nyaman. Kami mendapat dus makanan berisi kue dan air minum dan keesokan paginya ada secangkir teh hangat. Kelas bisnis ini hanya terdiri dari beberapa gerbong di belakang gerbong kelas eksekutif.

Karena okupansi yang semakin tinggi dan mengejar keuntungan maka kelas bisnis dihapuskan. Warga seperti kami yang biasa bepergian dengan bujet pas-pasan sangat menyesalkan keputusan KAI masa itu. Dan setelahnya KA Gajayana nampak semakin ‘pelit’. Fasilitasnya terus menurun sementara tarif semakin mahal. Jika dulu untuk kelas eksekutif penumpang mendapatkan makan malam dan juga teh hangat pada pagi hari. Maka sudah cukup lama fasilitas tersebut menghilang.

Pernah saat bepergian bersama kakak, saya menggunakan KA Matarmaja. Ada banyak pedagang menjajakan makanan dan pakaian. Saat malam hari banyak penumpang yang tidur di lorong. Karena ada teman rasanya asyik-asyik saja masa itu naik kelas ekonomi. Harga tiketnya juga murah untuk ukuran mahasiswa. Sisa uangnya bisa kami belikan untuk jajan di perjalanan dan jalan-jalan ke Dufan. Baru ketika pulang kami bermanja ria naik KA Gajayana.

Ketika KA Gajayana semakin mahal, saya menyiasatinya dengan naik KA Gumarang tujuan Surabaya. KA Gumarang memiliki kelas bisnis dengan waktu perjalanan berkisar 12-13 jam. Untuk melanjutkan ke Malang cukup dengan naik bus kota dari pasat Turi dilanjutkan bus antarkota ke Malang. Total tarifnya masih jauh di bawah KA Gajayana dan durasi perjalanannya juga tidak beda jauh. Atau bisa juga dengan naik pesawat jika punya bujet lebih. Namun, pilihan ke Surabaya kami lupakan ketika lumpur Lapindo membuat jalanan macet pada hari dan jam tertentu. Lebih nyaman perjalanan langsung ke Malang daripada terjebak macet di Sidoarjo. Saya pun kembali ke KA Gajayana dan kereta ini kembali menjadi favorit para Arema yang bekerja di ibukota.

Namun, sekitar pertengahan tahun 2000-an dominasi KA Gajayana pun berakhir. Bandara Abdulrachman Saleh terbuka untuk umum. Kami menyambutnya dengan gembira, meskipun baru maskapai Sriwijaya Air dengan tarif Rp 600-700 ribu yang beroperasi. Sementara itu tiket pesawat menuju Surabaya juga semakin murah dengan banyaknya maskapai yang memiliki rute ke Surabaya. Lumpur Lapindo telah tertangani sehingga kemacetan di dekat area bencana mulai berkurang.

Dominasi KA Gajayana pun makin pudar. Semakin banyak maskapai yang singgah ke Malang dari Sriwijaya Air, Wings Air, Garuda Indonesia, dan juga Citilink. Untuk pilihan kereta masih ada KA Matarmaja yang makin nyaman dan KA Majapahit untuk kelas ekonomi AC. Warga Bandung dan Yogya yang ingin berwisata ke Malang pun dimanjakan dengan KA Malabar dan KA Malioboro. Namun penantang sesungguhnya yang telah lebih dari setahun ini hadir adalah KA Bima dengan waktu tempuh yang hampir sama yaitu 15 jam.

[caption caption="Stasiun Kota Baru Malang"]

[/caption]

Jika KA Gajayana berdasarkan jadwal sejak April 2015 tersebut start pukul 13:30 dan tiba di Gambir pukul 04:00 maka KA Bima memiliki jadwal yang menurut saya lebih enak yaitu pukul 14:25 dan tiba di Gambir pukul 05:30. KA Bima lebih lama 35 menit karena berhenti sekitar 30 menit di KA Gubeng yang merupakan stasiun utamanya. Untuk fasilitas dan tarifnya juga sebelas duabelas. Tarif berkisar Rp 400-500 ribu. Terkadang memang lebih murah KA Gajayana untuk kelas terendah, tapi kelas tersebut cepat sekali habis. Untuk fasilitasnya pun sama, penumpang hanya mendapat bantal dan selimut.

 

KA Bima Kereta Elit Masa Lampau

Ketika ayah mengetahui kami akan naik KA Bima untuk perjalanan kembali ke Jakarta, ia bercerita jika dulu KA Bima adalah kereta elit. Orang bakal bangga selangit masa itu jika sudah pernah naik KA Bima.

Dan memang benar KA Bima adalah kereta eksekutif AC pertama yang diresmikan tahun 1967. Yang paling populer dari KA yang memiliki kepanjangan nama Biru Malam ini adalah gerbong tidurnya sehingga disebut kereta tidur. Nama Biru Malam ini berarti kereta berwarna biru yang berangkat pada malam hari. Selain itu Bima juga dianalogikan dengan tokoh wayang Bima yang kokoh dan dapat diandalkan.

Dengan adanya gerbong tidur ini maka penumpang bisa tidur nyaman selama berkereta, kisah ayah. Wah wah wah mendengar kisah ayah ini jadi ingin mencobai kereta dengan gerbong tidur seperti di kisah-kisah detektif jaman dulu.

Setelah kehadiran KA Argo maka kejayaan KA Bima pun sirna. Argo Anggrek lebih cepat 3-4 jam dari KA Bima. Selain Argo Anggrek pesaingnya saat ini adalah KA Sembrani dan KA Gumarang. Yang membedakan ketiga kereta tersebut start dari Stasiun Pasar Turi, sedangkan KA Bima mengambil jalur selatan seperti KA Gaya Baru dan start di Stasiun Gubeng.

[caption caption="Tempat Duduk Nyaman"]

[/caption]

Saat kami naik KA Bima dari Stasiun Kota Baru Malang penumpang tidak banyak, hanya segelintir orang. Menariknya sebagian penumpang tersebut adalah penumpang jarak pendek. Ada yang turun di Stasiun Lawang, Stasiun Sidoarjo dan beberapa turun di Surabaya. Jempol buat KA Bima karena pandai memanfaatkan celah bisnis. Menurut saya putusan KA Bima untuk memperpanjang rute ke Malang dan melayani perjalanan rute pendek sangat cerdik. Oleh karena KA Penataran Express yang melayani kelas eksekutif untuk tujuan Malang-Surabaya sudah lama dihentikan karena sepi penumpang.

[caption caption="Toilet ada di Ujung Tiap Gerbong "]

[/caption]

KA Penataran yang masuk kelas ekonomi memiliki tarif Rp 15 ribu dengan pilihan waktu beragam. Sedangkan KA Bima hanya sekali sehari dan tarifnya berkisar Rp 40ribu. Memang cukup mahal jika dibandingkan dengan kelas ekonomi. Naik buspun ke Malang-Surabaya plus bus kota untuk ke pusat kota Surabaya berkisar Rp 25 ribu untuk ekonomi. Tapi jika disandingkan dengan bus patas AC Malang-Surabaya maka tarifnya tak jauh berbeda. Jika pilihan waktunya pas maka tidak ada salahnya naik KA Bima menuju Surabaya ataupun ke Malang dengan jadwal sekitar pukul 06:30 dari Stasiun Gubeng.

Pemandangan panorama selama perjalanan Malang-Surabaya ini indah dengan hamparan sawah dan latar belakang pegunungan. Jika naik KA Penataran umumnya ditempuh selama tiga jam, dengan KA Bima bisa dipersingkat satu jam.

 [caption caption="Panorama Sepanjang Perjalanan"]

[/caption]

[caption caption="Sawah Menghampar yang Menyejukkan Mata"]

[/caption]

KA Bima ini singgah dan menaikkan/menurunkan penumpang di Mojokerto, Madiun, Solo, Yogya, Cirebon, Jatinegara dan berakhir di Gambir. Untuk fasilitasnya ada kursi nyaman 2-2, bantal dan selimut, bagasi tanpa tutup di bagian atas, charger, televisi dan toilet. Untuk fasilitas lebih oke KA Sembrani yang kami tumpangi saat mudik ke Malang karena bagasinya mudah ditutup seperti bagasi pesawat.

Nah bagi yang ingin ke Malang atau dari Malang menuju Jakarta tidak perlu cemas kehabisan tiket KA Gajayana karena ada pesaing kuatnya KA Bima. Dengan makin banyaknya rute kereta api ke Malang maka diharapkan keduanya semakin kompetitif dalam memberikan pelayanan prima kepada para penumpangnya. Termasuk juga rajin-rajin memberikan tiket promo:)

[caption caption="Gunung Arjuno yang Gagah"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun