[caption id="attachment_418534" align="aligncenter" width="600" caption="Hendak Menyeberangi Laut Merah (sumber: capture film)"][/caption]
Bernasib sama seperti Noah, film bertajuk Exodus: Gods and Kings yang mengisahkan Moses juga dilarang beredar di sejumlah negara, termasuk di Indonesia. Pelarangan ini malah membuat sebagian penggemar film di Indonesia semakin penasaran. Saya pun jadi tertarik untuk mengetahui isi film dan ternyata seperti Noah, film kepahlawanan Moses digarap apik dan kaya nilai-nilai positif, meski jalan ceritanya sedikit berbeda dengan yang lazim diketahui umat Islam Indonesia.
Kisah Moses yang digarap sutradara kawakan, Ridley Scott, berawal saat Moses (Musa) dan saudara angkatnya yang sekaligus putra mahkota, Ramses, memimpin pasukan Mesir menyerang bangsa Hittite . Ramses sangat berang ketika Moses menyelamatkannya karena ia teringat ramalan seorang pendeta dimana penyelamatnyalah yang akan menjadi pemimpin.
Seti, ayah Ramses berpulang ke alam baka. Ramses pun otomatis menggantikannya. Meski demikian ia selalu was-was Moses mengincar tahtanya. Saat pengawas budak, Viceroy, memberitahukan sebuah rahasia tentang asal usul Moses, ia pun mendapat jalan untuk menyingkirkan saudara angkatnya itu. Ia mengusirnya ke daerah tandus dan mengirimkan dua pembunuh bayaran yang sayangnya gagal membunuh Moses.
Perjalanan tak berarah Moses membawanya menemui jodohnya, Zipporah. Moses dan keluarganya hidup bahagia dan damai hingga suatu saat Moses mengalami suatu kejadian aneh di gunung. Ia merasa harus memenuhi takdirnya dan menyelamatkan kaumnya, bangsa Hebrew (Yahudi) dari perbudakan yang semakin kejam di bawah pemerintahan Ramses.
Christian Bale sebagai Moses memainkan perannya dengan apik, meskipun bukan penampilannya yang terbaik. Sosok Moses di sini bukan hanya kuat secara fisik dan terampil mengayunkan senjata, namun juga terpelajar dan hangat bersama keluarganya. Ia juga digambarkan sebagai sosok yang terkadang ragu akan peranannya dan caranya dalam memprotes dan berupaya menghentikan tindakan sewenang-wenang Ramses. Sayangnya interaksinya dengan Aaron (Harun) dalam film ini nampak kurang hangat dan seperti bukan saudara sedarah, mungkin karena Moses baru mengenal Aaron saat ia hendak memimpin kaumnya. Interaksinya dengan kakaknya, Miriam, juga hanya ditampilkan sekilas dan membuat saya bertanya-tanya bagaimana nasib Miriam, apakah ia tetap di Mesir atau mengikuti kaum Moses.
Dari segi cerita, meski ada beberapa hal yang sedikit berbeda dengan yang pernah saya ketahui, namun intisari dan pesan yang disampaikan dalam kisah Moses tetap sama. Yaitu, tentang penghapusan perbudakan Yahudi yang telah berlangsung 400 tahun dan semakin memburuk di bawah tampuk Ramses. Moses juga mengajak Ramses untuk tidak lagi berlaku sebagai Tuhan dan memilih menyembah Tuhan yang Agung, Tuhan yang yang juga disembah dan diajarkan oleh Abraham.
Dari segi set, kerajaan Firaun di Memphis, patung dan piramida nampak sangat megah. Bentang alam Mesir hingga menuju Laut Merah juga luar biasa menawan. Kostum prajurit dan bangsawan Mesir juga digarap detail.
[caption id="attachment_419015" align="aligncenter" width="485" caption="Set yang Megah (sumber: capture film)"]
Meski demikian, ada sesuatu yang terasa kurang di film ini mungkin karena filmnya tidak hitam putih. Ramses bersikap egois dan kejam pada budak juga membenci Moses karena takut pada ramalan tersebut. Akan tetapi pada istri dan anaknya ia sangat lembut, demikian juga pada kuda kesayangannya. Panglima perang dan para prajurit, juga penduduk Mesir nampak baik sehingga membuat saya sedih mereka mendapat musibah. Sedangkan Moses dan pemimpin di kalangan budak seolah tidak terganggu ketika banyak budak digantung agar Moses menyerahkan diri, seolah pengorbanan tersebut sudah semestinya.
Meskipun filmnya megah dan didukung Christian Bale sebagai Moses, saya merasa film ini kurang memiliki emosi kuat. Pesan religius juga terasa samar-samar, yang lebih dominan adalah isyu pembebasan budak. Setelah film berakhir, kesan yang tersisa di benak hanya set-nya yang megah.