Mohon tunggu...
Demar Adi
Demar Adi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Suka menulis

Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Di Ujung Tawa

12 Maret 2019   01:53 Diperbarui: 12 Maret 2019   02:15 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com

Riasan putih menutupi kulit wajah. Lipstik tebal dan lebar melewati garis bibir demi menyuguhkan hanya ekspresi senyum. Kostum penuh warna cerah, lengkap dengan wig oranye menyala melengkapi tampilannya.  bentuk tubuh dimanipulasi agar tampak lucu dengan gerak-gerik canggung mengundang tawa.

Ya, tawa orang lain. Orang yang bahkan tak pernah peduli padanya. Dia harus terus menghadirkan tawa, walau hatinya pedih mengingat ananda di rumah menahan sakit tanpa obat.

Hingga suatu saat batinnya lelah. Matanya menangkap orang yang tertawa saat dia sengaja jatuh di atas panggung.

"Tak tahukah mereka, pinggangku sakit hanya supaya mereka tertawa?" bisiknya sedih.

Dia masih berlakon di atas panggung. Di antara gemuruh tawa orang-orang yang senang melihat kekonyolan gerak-geriknya. Sementara dalam hati  masih bingung memikirkan cara menebus obat untuk kesembuhan sang anak.

Tiba-tiba, gairahnya untuk menghadirkan tawa memudar. Geraknya melambat, semakin kaku. Tubuhnya tak mampu lagi memunculkan aura ceria penuh kekonyolan. Panggung dikuasai kesedihan.

Bagaimana dengan penonton? Rasa haus akan tawa mengejek tak terpuaskan. Penonton kecewa. Botol air mineral dilemparkan ke panggung tepat mengenai kepalanya. Sebagian orang tertawa. Merasa lucu akan kesakitan yang terpampang di atas panggung.

Penonton lain seolah dikomando, mulai melemparkan barang ke tengah panggung. Tak hanya botol minuman, kemasan rokok, kotak kue, dan aneka barang lain yang ada di ruangan pertunjukan dilemparkan ke tengah panggung. Dia bagai sasaran tembak di sana. Gerakannya yang terhambat kostum saat berusaha mengelak, justru terlihat lucu. Semua orang tertawa lebih kencang, semakin kencang.

Hati kecilnya berontak  saat riasan putih wajah ternoda akibat luka di pelipis. Dalam kemarahan, dia menghambur ke arah penonton. Memukul, menendang, mencakar siapapun yang terjangkau tangannya. Lolongan penuh duka meluncur keluar dari bibir yang seharusnya selalu tersenyum itu.

***

Riasan berwarna putih itu telah dihapus dari wajahnya. Tanpa pulasan lipstik tebal, bibirnya tampak jelas mengguratkan kesedihan. Pikirannya melayang pada ananda di rumah yang pasti tak akan mendapat obat. Karena sang ayah kini meringkuk di balik jeruji.

Tenggarong 11 Maret 2019

De Maharani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun