Aku mencumbu bayangmu
Melalui jejak alur kopi di cangkir merah
Menafikan rentang jarak
Menelusuri khayal
Tapak kaki nestapa
Menghujam menghimpit merentan hati
Lirih pilu meratapi
Jengkal demi jengkal tak tertempuh
**************
"Selamat pagi."
Sebuah pesan diiringi foto secangkir kopi, menyapa. Mengawali hari yang kian ragu kujalani. Â Mataku tertuju pada cangkir merah itu. Kuwakilkan sejuta kasih padanya, untuk diresapkan pada tiap laju darahmu.
**************
Matahari beranjak malas, pulang ke peraduan. Sisakan gurat jingga menyapu awan. Masih dalam sepi, aku menatap kilau Sungai Mahakam. Mencoba menyusuri ingatan, saat semua berawal.
"Aku telah jatuh cinta."
Sebuah pengakuan luput kutahan. Sunyi akhirnya erat memelukku. Bergelung dalam deru ombak khayal yang mengombang-ambing. Tak sadarkah engkau, kuberharap rengkuh erat tanganmu menangkapku?
Masih di sini, menatap riak Sungai Mahakam. Berusaha menyusuri sampai di mana semua ini akan bermuara. Jerit hati berusaha menyebut namamu. Namun, siapakah engkau sesungguhnya? Aku bahkan tak tahu namamu, hingga harus kupilihkan sebuah nama untukmu.
Aku akan tetap kembali ke sini. Menyapa Sungai Mahakam yang pernah menyaksikanku tertatih  menuju dekapmu,  dalam sebuah khayal. Menyusuri gemulai riak sungai, mengirimkan rinduku padamu.
Kutitipkan pesan melalui bisik lirih di ujung senja. Aku terpikat padamu, oleh cerdas alam pikiranmu. Juga pada teguh genggam erat cintamu. Sekalipun cinta itu tak menyebut namaku.
Menuju Sungai Mahakam, aku akan selalu kembali. Di sana telah kutitipkan satu-satunya yang kumiliki. Bayangmu dan cangkir merah itu. Dalam hening, kukirimkan kasih melaluinya. Untuk  kau cecap di setiap teguk  kopi pagi.
Tenggarong, 27 Juli 2018
De Maharani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H