Mohon tunggu...
dewi sartika
dewi sartika Mohon Tunggu... Wiraswasta - ig : dewisartika8485

penyuka sejarah, travelling, kuliner, film dan olahraga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bedah Buku Tirta Carita: Mengungkap Cerita di Balik Sumber Mata Air di Malang

2 September 2023   08:40 Diperbarui: 4 September 2023   12:52 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungai telah lama menjadi pusta peradapan manusia. Tak hanya perdapan dunia seperti Mesir Kuno dengan Sungai Nil, Mesopotamia dengan Sungai Eufrat dan Tigris serta peradapan China Kuno di Sungai Kuning, tetapi juga peradapan di Indonesia. Beberapa kerajaan zaman dahulu di negeri ini juga didirikan dekat sungai. Salah satunya  Kerajaan Kanjuruhan yang berada di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro.

Tidak mengherankan, sisa-sisa peninggalan kuno juga bisa ditemui di sungai. Selain berupa artefak, sisa peninggalan kerajaan yang pernah ada di Malang berupa sumber mata air yang dahulu kala juga digunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari serta menjadi tempat sakral bagi orang zaman dahulu.

Di Malang  dan Batu sendiri banyak terdapat sumber mata air yang tersebar di barbagai tempat. Sumber mata air ini menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Malang dan sekitarnya. Hal ini pula yang menarik perhatian Nur Elifianita beserta Latifah dan Devan Firmansyah untuk menggarap buku Tirta Carita: Sendang Malang di Cekung Gunung.

Alasan lain yang mendasari pembuatan buku ini juga bahwa Malang Raya sebagai daerah lumbung mata air. Namun, banyak  sumber mata air yang mati akibat komersialisasi serta industrialisasi di Malang sehingga menimbulkan keprihatinan bagi tim penulis.

Sumber mata air sebagai bagian sejarah daerah Malang dan sekitarnya mempunyai banyak cerita yang coba diungkap dalam bedah buku Tirta Carita: Sendang Malang di Cekung Gunung Kamis (31/8) yang diselenggarakan di aula Museum Zoologi Frater Vianney di Jalan Mahameru. Acara ini juga sebagai tindak lanjut kegiatan pemutaran film dokumenter Tirta Carita yang telah dilaksanakan Juni lalu.

Dalam acara yang diadakan pihak  museum beserta tim penulis tersebut mengahdirkan tiga narasumber, Maulfi Syaiful Rizal (peneliti), Nur Elifianita (penulis), dan Denise Resiamini yang mewakili Museum Zoologi. Acara bedah buku ini sendiri sebagai tindak lanjut dari acara pemutaran film dokumenter Tirta Carita yang diadakan Juni lalu.

Sebagai pembicara pertama, Maulfi Syaiful Rizal menyoroti tentang tradisi folklor tidak dapat dipisahkan dengan sumber mata air serta tradisi masyarakat setempat. Folklor menjadi bagian penting dari masyarakat tertentu yang diturunkan secara turun-menurun. Sebagai contoh foklor yang berkaitan  dengan sumber mata air yang ada di sebuah kawasan di mana masyarakat setempat mengadakan syukuran kepada Tuhan Yang MahaEsa.

Berbicara tentang sumber mata air, folklor yang berkembang juga sangat berkaitan dengan konservasi alam yang dapat digunakan untuk menjaga keanekaragaman hayati.  Ia jiga menyebut sebelum adanya peraturan yang dibuat pihak berwenang, keberadaa folklor juga berfungsi untuk menjaga kelestarian sumber mata air. Ia lalu memberi contoh larangan mengambil ikan yang ada di sumber mata air.

dokpri museum zoologi
dokpri museum zoologi

"Folklor, alam, dan kelompok masyarakat ini tidak dapat dipisahkan. Ketika ketiga komponen ini saling terkait maka kearifan lokal tetap terjaga," ucap Maulfi Syaiful Rizal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun