"Piye toh, Mbak, sampeyan iki. Engko duwite ilang, sampeyan ngarani aku seng njipuk (gimana toh, Mbak, kamu ini. Nanti kalau duitnya ilang, kamu nuduh saya yang ngambil uangnya)," ujar tukang parkir lagi.
Padahal saya sudah merelakan kalau uang itu beneran hilang. Bagaimanapun itu terjadi karena keteledoran saya. Kemudian, saya pun menjelaskan ke beliau kalau saya baru saja teringat naruh uang di motor makanya buru-buru balik ke parkiran.
Alhamdulillah, masih banyak orang baik dan jujur. Saking masih enggak percaya, saya tidak ingat apa saya sudah berterima kasih ke tukang parkir tersebut. Bahkan untuk melebihkan bayar parkir juga tidak terlintas di benak saya saat itu (mohon maaf bapak).
Ngomong-ngomong tentang naruh uang di motor, sebenarnya sudah menjadi kebiasaan saya. Mengapa? Untuk memudahkan saja, misal untuk bayar bensin atau ketika mau memberi polisi cepek karena saya memang jarang pakai jaket. Biasanya, saya menyediakan pecahan seribu atau dua ribuan.
Sebenarnya, kebiasaan saya ini seringkali menuai kritik dari suami yang menyebut saya teledor. Jujur saja, saya anggap angin lalu ucapan suami saya. Namun, sepertinya saya harus mulai memerhatikan omongan suami pasca kejadian tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H