Satu lagi makanan khas Minangkabau yang masuk dalam kategori langka, ampiang katan (emping ketan) namanya. Bahan utama ampiang adalah beras ketan putih atau beras ketan merah.
Ampiang masuk dalam listing makanan yang akan saya bawa kembali ke Jakarta pada saat mudik lebaran ke Solok, Sumatera Barat tahun ini. Saya sengaja membeli 2 liter ampiang ketan putih dan ketan merah dengan harga per liter Rp. 20.000.
Sebagai generasi X saya masih akrab dengan menu-menu tradisional Minangkabau yang saat ini telah tergantikan oleh menu-menu kekinian. Salah satunya adalah emping ketan ini.
Apa itu ampiang ketan? Yaitu camilan dari beras ketan yang diolah dengan cara ditumbuk menjadi pipih dalam kondisi panas usai dirandang (disangrai).
Ampiang sendiri dalam Bahasa Minang, bisa diartikan berdekatan. Jaman dahulu, ampiang diolah kaum ibu di dapurnya sendiri.
Sayangnya tidak banyak informasi yang saya peroleh di mesin pencarian internet, ketika ingin mencari lebih jauh seputar ampiang.
Dikutip dari Kompas.com, selain menjadi makanan cemilan, di salah satu daerah di Minangkabau, tepatnya di Nagari Batipuh Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar, kegiatan Mangampiang (membuat ampiang) menjadi tradisi upacara kematian.
Tradisi Mangampiang biasa dilakukan para kaum ibu, berdampingan dengan tradisi Bakayu yang dilakukan bapak-bapak.
Pada tradisi bakayu dan mangampiang ini ada aspek fisik dan sosial yang masyarakat lakukan. Aspek fisik yang dilakukan sebelum tradisi bakayu dan mangampiang dilaksanakan, masyarakat tentu akan beramai-ramai datang ke rumah duka untuk mencari informasi dan membantu persiapan acara pemakaman orang meninggal tersebut.
Kembali ke era sekarang, karena proses pembuatan ampiang dianggap sulit, orang mencari cara simple dengan membelinya di pasar-pasar tradisional. Per liter ampiang hanya Rp. 20.000 saja.
Ampiang ketan diolah menjadi apa? Kalau saya terbiasa menikmatinya hanya dengan kelapa parut yang diaduk bersama ampiang dan taburan gula pasir. Sesederhana itu, namun cukup membawa saya pada kenangan di masa kecil saat nenek membuatkan ampian ketan di dapur kayu miliknya. Untuk rasa, sudah pasti yummy. Meski pada sebagian orang terganggu dengan teksturnya sedikit keras, namun rasa gurih dan manisnya ketan dan gula cukup membuat saya bahagia.
Kriuk-kriuknya ampiang juga bisa dinikmati ketika menyeruput segelas cendol Padang yang isinya antara lain: cendol sagu, ketan hitam, tapai singkong, ampiang putih, santan, gula merah cair, potongan martabak manis polos dan es serut. Saya sempat mencicipinya saat pergi ke Pasar Bukit Sileh, Kecamatan Lembang Jaya.
Tapi di beberapa daerah di Sumatera Barat, ampiang juga disajikan bersama dadiah, gula merah cair dan kelapa parut. Sayangnya, saya bukan penyuka dadiah, sehingga tidak berusaha mencarinya saat di kampuang halaman pada lebaran lalu.
Ampiang dadiah kini menjadi menu kuliner yang paling dicari para traveller. Bahkan pada saat Gordon Ramsay berkunjung ke Sumatera Barat untuk syuting Uncharted yang tayang di National Geographic Channel pertengahan tahun 2020 silam, pun berburu ampiang dadiah. Bahkan Gordon Ramsay berkesempatan memeras langsung susu kerbau untuk bahan dadiah.

Pado maso saisuak (jaman dulu-red), dadiah menjadi menu istimewa. Rasa gurih , asam dan irisan bawang merah juga cabai merah menjadi pembangkit selera makan bagi yang tengah sakit.
Padahal dadiah sendiri disebut sebagai yogurt khas Minangkabau. Pembuatannya terbilang unik, yaitu memanfaatkan fermentasi alami susu kerbau yang dilakukan di dalam sebatang bamboo berukuran 15 cm. Dadiah yang berkualitas baik memiliki warna yang putih seperti susu, teksturnya padat dan licin, serta memiliki aroma asam yang khas.
Akankah ampiang dan dadiah hanya tinggal kenangan? Jawabannya, tergantung pada kemauan generasi saat ini melestarikan dan membuatnya kembali digemari. Bukankah jika semakin banyak permintaan maka dengan sendirinya persediaan di pasaran juga akan semakin banyak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI