Secara umum, human trafficking atau perdagangan manusia merupakan kejahatan manusia dalam bentuk jual beli manusia yang dapat mengancam keamanan individu, karena dalam kasus perdagangan manusia, korban dieksploitasi, mendapat pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga hingga penahanan dokumen pribadi oleh majikan/agen. Isu perdagangan manusia menjadi keresahan masyarakat di Indonesia karena kelompok/ agen terus melakukan banyak modus dalam merekrut masyarakat untuk diperdagangkan kepada pelanggannya yang ada di luar negeri. "Pengantin Pesanan" menjadi salah satu modus perdagangan manusia yang  marak terjadi di beberapa wilayah kalimantan Barat, antara lain di Pontianak, Mempawah, Sanggau, Singkawang, dan Entikong.Â
Modus "Pengantin Pesanan" memberikan tawaran hidup enak di negeri orang, jaminan pasangan hidup yang mampu membiayai rumah tangganya di negara Tiongkok, dan korban juga diberi mahar perkawinan sebesar 10-25 juta.Â
Kalimantan Barat sendiri merupakan wilayah dengan penduduk miskin terbanyak di pulau Kalimantan, sehingga tawaran ini menjadi sangat menggiurkan bagi korban karena situasi mereka yang terhimpit dengan masalah ekonomi, sehingga melihat perkawinan yang diberikan nanti diharapkan dapat memberikan bantuan terhadap ekonominya dan orang tua yang ada di rumah. Oleh fakta tersebut membuat target pelaku (agen gelap) melihat target mudah didapatkan, dimanipulasi dan mereka dapat menemuinya di wilayah desa maupun kota kota yang terpinggirkan tanpa melihat suku, agama, luhurnya dan umur korban.
Faktor yang menjadi pendorong kasus ini juga dikarenakan pendidikan dari perempuan dari pedalaman atau pedesaan yang terbatas, khususnya dalam hal perdagangan manusia. Kemudian pihak keluarga juga turut berperan penting karena ancaman human trafficking ini juga dialami oleh perempuan dibawah umur, apabila orang tua tidak mengantisipasi dan menghimbau anak, hal ini juga menjadi potensi terjadinya pengantin pesanan terhadap anak di bawah umur.
Menurut Juliana, yang merupakan salah satu bagian dari Serikat Buruh Indonesia (2019) modus "Pengantin Pesanan" menjadi peluang bagi pelaku (mak comblang) karena setiap korban yang berhasil dikirim ke China, mereka mendapatkan keuntuntungan 300 - 350 juta dari pemesan. Â
Adapun kasus human trafficking ini turut melibatkan banyak aktor dalam penyebaran informasi, menjadi mak comblang (yang berinteraksi langsung dengan calon korban), agen yang mengirimkan korban ke Tiongkok. Diduga juga terdapat aktor yang membantu mengurus dokumen pernikahan korban dan pelanggan (Pria Tiongkok) dengan waktu yang singkat agar transaksi penerimaan uang dan proses pernikahan dapat segera dilakukan.
Dari kasus ini Kapolda kalimantan Barat menyampaikan bawah terdapat 14 kasus TPPO dengan 5 modus kawin kontrak, 5 terkait TKI dan 4 kasus prostitusi. Tentunya ini tidak sepenuhnya sesuai dengan data di lapangan karena kesulitan melacak korban yang diselundupkan secara ilegal oleh agen yang tidak bertanggung jawab.Â
Modus dari pengantin pesanan ini menyebabkan eksploitasi terhadap perempuan, pelecehan yang diterima dari suami sendiri hingga dilakukan oleh mertua sendiri, kekerasan secara fisik hingga menyebabkan trauma secara psikis. Selain itu, korban juga turut mendapatkan tekanan sosial dari warga sekitar yang melebel nya sebagai "wanita Pelacur" bahkan terhadap anggota keluarga lainnya.Â
Karena kasus pengantin pesanan ini, pemerintah juga telah melakukan beberapa upaya pada 23 Juli 2019 dimana ibu Retno LP Marsudi melakukan pertemuan dengan Dubes China untuk Indonesia yaitu Xiao Qian, dilanjutkan pada pertemuan dengan pemangku kepentingan Pontianak, Kalimantan Barat untuk mencegah kawin pesanan terjadi lagi hingga pertemuan bilateral dengan Menlu China yaitu Wang Yi di Bangkok, Thailand. Hingga akhirnya pada bulan September 2019, kementerian Luar Negeri berhasil memulangkan 14 warga negara Indonesia yang merupakan korban pengantin pesanan di China. Namun, dari saksi beberapa korban diduga masih terdapat beberapa korban yang belum dapat dipulangkan, karena hal lain yang menjadi hambatannya yaitu perizinannya. Korban datang ke China dengan perkawinan sah yang mereka lakukan untuk itu apabila meminta izin untuk keluar maka mereka harus melalui proses perceraian yang sah, sedangkan korban bersaksi bahwa paspor, dan data diri mereka di tahan oleh suami maupun mertua korban yang ada di China.Â
Tentunya dari kasus human trafficking dengan modus "Pengantin Pesanan" ini masih menjadi ancaman sampai sekarang, terlebih didorong oleh luasnya sistem informasi dan komunikasi yang dapat memudahkan agen atau sindikat pelaku melakukan transaksi kembali baik di wilayah Kalimantan Barat maupun di wilayah lainnya yang berpotensi di Indonesia. Untuk itu, baik dari Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak di tingkat daerah, jaringan buruh serta pemerintah harus lebih mengantisipasi agar kasus perdagangan manusia melalui perkawinan pesanan ini  tidak kembali menimpa perempuan hingga anak dibawah umur di berbagai wilayah di Indonesia. Â
Langkah yang dapat diberikan antara lain memberikan edukasi terhadap masyarakat secara luas mengenai ancaman human trafficking terlebih di era digitalisasi, serta mengumpulkan para korban agar tidak terhasut untuk menjadi perekrut atau bergabung dengan agen gelap, meningkatkan monitoring terhadap pendataan pernikahan untuk mencegah adanya pemalsuan data pernikaha . Dalam upaya tersebut tentunya Pemerintah juga harus turut melibatkan aktor non pemerintah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal dan Organisasi Non Pemerintahan (NGO) agar dapat menerapkan edukasi yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H