Kedua, menghargai almarhum yang dijadikan alasan partai mungkin berargumen bahwa dengan mengusulkan istri almarhum, mereka menghormati jasa dan kontribusi suaminya dalam kampanye atau perjuangan politik. Ini juga bisa menjadi bentuk penghargaan terhadap cita-cita almarhum yang ingin diwujudkan melalui keluarganya.
Terakhir, untuk menjaga soliditas partai karena anggapan mereka dengan mengusulkan istri sebagai pengganti, partai mungkin berusaha menjaga keutuhan dan stabilitas internal. Kehilangan seorang calon dalam kecelakaan tragis dapat memecah konsentrasi partai, dan mengusulkan seseorang dari keluarga almarhum dianggap solusi praktis untuk menjaga momentum kampanye. Kembali lagi, coba tukar tempat para elit ini dengan Sherly yang berduka, yakinkan diri sendiri mampu melawan duka.Â
Namun, secara etis, ini dapat menimbulkan pertanyaan. Apakah keputusan ini benar-benar untuk menghormati almarhum, atau lebih merupakan strategi politik untuk menggaet simpati dan suara dari pemilih? Ada juga kekhawatiran apakah istri memiliki kapasitas dan kesiapan mental untuk terjun dalam dunia politik pada saat yang sangat emosional ini.
Bagi si istri, meskipun menggantikan suami dapat terlihat sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya, ini juga bisa menjadi beban psikologis yang berat, dan keputusan yang diambil dalam masa berkabung berpotensi dipengaruhi oleh tekanan dari luar. Sehingga, pertimbangan kesiapan mental, dukungan keluarga, dan kondisi emosional sangat penting dalam menentukan apakah ia benar-benar mampu mengemban tanggung jawab ini.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H