Kita sering sekali sengaja membentengi diri tinggi-tinggi saat akan menulis. Seolah-olah baru jadi penulis pemula saja, harus mampu membuat tulisan yang viral, jadi headline, dan banyak dibaca.Â
Sering kali, kita sengaja menghabiskan waktu berlama-lama menyelami deretan judul yang lagi trending di Google Trends. Atau membuka satu persatu topik pilihan dan berharap ada satu saja topik yang terbersit bisa dikaitkan dengan pengalaman hidup.
Ujung-ujungnya, tidak jadi menulis. Otak terlalu penuh dengan rencana tanpa satu pun yang jadi dieksekusi. Tidak heran bila ada jeda panjang menulis dengan alasan, "tidak mood" atau "tidak ada ide."
Padahal ide awal menulis itu sebenarnya butuh ruang untuk bercerita apapun tanpa perlu dihakimi. Meski pekerjaan pokok saya sejak belasan tahun lalu, yang mungkin genap dua puluh tahun, di tahun depan sebagai penulis, tapi rasanya itu hanya bagian kewajiban.
Pergi ke lapangan atau kantor institusi untuk mencari bahan berita yang entah dibaca atau tidak oleh pembaca, lalu disusun menjadi naskah artikel. Selesai, kirim ke editor tanpa pikiran harus dimuat. Ya dimuat syukur, tidak dimuat, ya, kirim lagi. Kali aja ada ruang kosong yang butuh diisi oleh berita recehan.
Kalau diingat-ingat, ruang kebebasan menulis itu entah berapa puluh blog sudah dibuat. Tapi akhirnya kebanyakan mikir, jadi hiatus terus menerus. Ibarat mengadopsi anak, ogah mengurusnya. Entah si anak angkat ini bisa makan atau tidak. Sabodo teuing!
Pernah beberapa kali, membuat blog dengan konten bahasa Sunda yang rasanya lebih akrab. Tapi ini benar-benar berat. Karena dari sisi bahasa, takut ada kesalahan. Ah, memang egois, lupa kalau diri manusia tempatnya salah. Akhirnya disia-siakan lagi.
Kemudian ada di titik mulai senang bermain dengan konten di media sosial. Bukan milik sendiri. Tapi diminta tolong. Efeknya cukup bagus karena saya dengan suka rela ikut banyak kursus demi validasi dengan rancangan yang saya buat sebelumnya. Karena yang namanya bisnis atau usaha, konsepnya sama. Mengenal audiens, pahami kebutuhannya, berikan, dan bangun interaksi.
Namun, saat bersinggungan dengan yang sebutan 'milik sendiri' kembali sabodo teuing. "Ini punya saya, mau diisi apapun, ya, gimana saya aja."
Kita memang sering mempersulit diri sendiri. Mengkotak-kotakkan diri. Ingin membuat hal khusus untuk satu topik. Padahal tidak demikian.Â
Saya sering enggan menulis tentang diri sendiri dengan anggapan, "nanti dianggap narsis, terus orang bilang siapa kamu sampai pengen dinotice banyak orang?"
Kemudian ketika menulis tentang orang lain, "memangnya mereka mengizinkan kisahnya ditulis? Meski tidak menyebutkan nama?"
Saat menulis soal diri sendiri, menggunakan bahasa "aku" daripada saya, tiba-tiba terpikir, "kok sombong amat sih? Kenapa gak pakai bahasa yang sopan?"
Nah, hari ini nekat saja, mencurahkan semua kesal yang dibuat diri sendiri di tulisan ini. So, bebas kan, mau tulis apa saja dengan gaya apapu?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H