Hari itu, saya sembelit. Keterlaluan, karena waktunya bertepatan dengan waktu jalan-jalan dan survey. Ya, saya gak mau sebut itu kerja. Bikin mumet yang sembelit.
Ada pesan penting. Ada kasus pembunuhan subuh di desa tetangga. Saya bukan polisi, makanya tidak buru-buru ke tempat kejadian perkara. Kejadian subuh, informasi jam 8 pagi.Â
Sambil meredakan sembelit, bersiap untuk survey. Anggaplah si sembelit reda, bermotor berboncengan dengan Paksu, menyusuri gang menuju lokasi.Â
Paksu bingung sebelah mana lokasinya. Mau tanya, tidak ada orang. Sepi. Patokan belakang sekolah.Â
Sebagai yang dibonceng, mata harus sigap seperti elang. Saat tiba di sebuah persimpangan, kepala saya menoleh kanan. Tampak sebuah rumah yang sudah dipasangi garis polisi. "Ini dia rumahnya," sambil menghampiri rumah yang tampak asri itu.
Sebetulnya kronologi versi laporan polisi sudah ada, tapi rasanya tidak pol saja jika tidak datang ke lokasi, ngobrol dengan tetangganya. Tapi ini, sungguh sepi. Tiada yang lewat.Â
Hingga satu waktu, datanglah seorang lelaki dengan sepeda motor. Rupanya kurir paket. Waktu ditanya, dia mau mengantar paket pakaian ke rumah yang dipasangi garis polisi. Sungguh kebetulan.Â
Saat itu, hanya saya, paksu, dan seorang kawan yang tiba lebih dulu. Kalau jaman dulu, model seperti ini disebut 'berita eksklusif'. Karena hanya didapat oleh segelintir orang.Â
Kami mendapat sejumlah testimoni baik tentang korban. Jangan tanya soal kejadian, dipastikan dia tidak tahu.Â
Bergulirlah kisah si kurir yang terbilang sering mengantarkan paket korban. Termasuk tentang sosok si mantan pembantu yang mengaku telah menghilangkan nyawa korban.
Si kurir juga cerita kalau suami korban baru meninggal dua bulan lalu. Dia pernah mengantar paket saat peringatan kematian suami korban.
Selepas kurir paket, datang lagi lelaki bermobil ke rumah korban. Rupanya kenalan dekat korban semasa di Jakarta. Dia tidak tahu si pemilik rumah telah tidak ada dengan cara yang tidak wajar. Dia cerita, hari itu mereka janjian untuk membahas pembangunan rumah korban. Ternyata rumah yang dihuni saat ini merupakan rumah kontrakan.
Tidak banyak cerita tentang pelaku. Karena saya pun tidak berminat mencari tahu lebih banyak tentang pelaku. Cukup membaca dari laporan polisi. Tapi lain soal korban.Â
Karena bagi saya, korban layak mendapat tempat lebih banyak dari pelaku. Manusia tidak berhak mengambil nyawa orang lain, karena itu bukan tugas mereka. Seburuk apapun orang, tidak layak dibunuh.
Sayangnya, tidak banyak penulis yang berpikir demikian. Sorotan ditujukan pada pelaku. Siapa pelaku? Bagaimana pelaku menghabisi korban? Motif pelaku itu apa? Bahkan itu dipaparkan sesadis mungkin. Haruskah seperti itu.
Bahkan ada yang tidak peka dengan menyetel motif pelaku dengan sebutan dendam. Selain itu menyebut ini merupakan pembunuhan berencana. Maaf-maaf saja, dari laporan polisi disebut dengan jelas senjata yang digunakan berupa balok kayu. Maaf-maaf lagi kalau itu memang pembunuhan berencana, si pelaku sengaja memanggul balok kayu ke rumah korban yang menjadi mantan majikannya?
Belum lagi ada video penangkapan yang beredar, lalu pelaku menyebut ada istrinya, beberapa penulis ingin menarik istri pelaku sebagai orang yang turut melakukan. Turut melakukan apa? Toh di lokasi tidak ada si istri yang ternyata ditemukan malam harinya di mesjid dengan kondisi hampir pingsan.
Berikan ruang bagi orang-orang yang mengenal korban untuk mengenang kebaikan-kebaikan korban. Jangan rusak dengan kenangan bagaimana korban meninggal. Apalagi membagikan foto dan video kondisi terakhir korban, dibumbui narasi tentang kebrutalan yang terjadi.
Bayangkan kalau Anda adalah keluarga korban. Trauma berkepanjangan dan kebencian mendalam terhadap pelaku yang terus dipupuk subur akibat tulisan yang dibuat.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H