Mohon tunggu...
DEWIYATINI
DEWIYATINI Mohon Tunggu... Freelancer - freelance writer

Belakangan, hiburan di rumah tidak jauh dari menonton berbagai film dan seri dari berbagai negara, meski genre kriminal lebih banyak. Daripada hanya dinikmati sendiri, setidaknya dibagikan dari sudut pandang ibu-ibu deh! Kendati demikian, tetap akan ada tulisan ringan tentang topik-topik yang hangat mungkin juga memanas di negeri ini. Terima kasih untuk yang sudah menengok tulisan-tulisan receh saya. Love you all!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kisah Ibu dengan Sebelas Anak dan Suami yang 'Antara Ada dan Tiada'

23 Mei 2024   16:56 Diperbarui: 23 Mei 2024   17:12 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/id-id/foto/wanita-menggendong-bayi-di-pantai-saat-matahari-terbenam-51953/

Tadi baca artikel tentang para elit negeri ini tengah mempersiapkan program unggulan mereka tentang makan siang gratis yang kemudian berganti istilah menjadi makan bergizi bagi anak-anak. Yang sebenarnya, kalau urusan makan itu merupakan tanggung jawab orang tuanya. 

Saya jadi ingat pertemuan saya dengan seorang ibu dari Garut saat di depan Rumah Sakit Santosa. Ketika itu, saya tengah ngopi, sedangkan si ibu hendak membeli popok instan untuk anak lelakinya yang berusia tiga tahun.

Anaknya yang aktif itu mengingatkan saya dan suami pada anak bungsu kami yang sudah pergi. Mungkin lebih besar dari anak itu.

Tidak tahan melihat kelucuannya, kami ajak dia bercanda. Tiba-tiba si ibu cerita, kalau itu anaknya yang ke-11. Apa? Enggak salah? Karena kalau diperhatikan usia si ibu tidak jauh dari saya. 

Ia kembali menjelaskan kalau anak itu benar-benar yang ke-11. "Tapi anak ini mah, enggak pernah tahu bapaknya."

Perkataan si ibu sungguh ambigu. Dengan hati-hati, saya tanya lagi maksud ucapannya itu. Ternyata dia bilang, suaminya itu 'antara ada dan tiada'. Oh, kalau kata jaman sekarang itu fatherless.

Kembali si ibu bercerita kalau anaknya yang paling besar itu usianya 24 tahun sudah menikah dan memiliki anak yang usianya 6 bulan. Anaknya 5 perempuan, 6 laki-laki. Masih sekolah SMA, SMP, dan SD. 

Lalu, bagaimana ia bisa menghidupi 10 anaknya itu sementara suaminya 'antara ada dan tiada'? Saya tidak menanyakannya langsung. Hanya menyimpulkan dari ceritanya. 

Hari itu, dia datang ke Bandung tepatnya Rumah Sakit Santosa dengan menaiki kereta api dari Stasiun Leles, karena rumahnya di Kadungora, Garut. Seharusnya ia berhenti di Stasiun Bandung, tapi terlalu lelah membuat ia terlelap hingga jelang Stasiun Ciroyom. 

Hari itu, kali pertama dia bawa anak bungsunya karena kakak-kakaknya mulai masuk sekolah. "Tidak ada yang bisa saya titipkan."

Hari itu, ia membantu tetangganya mengurusi administrasi untuk keperluan cek rutin atas penyakitnya. Sehari sebelumnya, ia ke RSUD dr. Slamet, mengurusi tetangganya yang lain. 

"Saya pernah membantu tiga orang ke RSUD dr. Slamet. Waktu dipanggil Udin, semuanya nengok. Saya jelasin memang namanya Udin, tapi beda RW," ujarnya.

Rupanya dia bekerja membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan berobat dengan akses BPJS Kesehatan. Dari orang yang dibantunya, biasanya, diberikan uang seikhlasnya. 

Saya kira tugas pemerintah membantu si Ibu dari Garut ini dan orang-orang yang bernasib sama lebih krusial. Peran ayah yang tidak ada, sementara ia harus memastikan anak-anaknya tetap terjamin makan, pakaian, tempat tinggal, dan pendidikannya. Pemerintah seharusnya hadir.

Ibu dengan nasib serupa ini banyak. Mereka tidak dapat menolak ketika anak-anaknya terus lahir, padahal kondisi ekonomi keluarga mereka pas-pasan. Tidak ada perencanaan jumlah anak, juga cara menghidupinya. Sabrehna we!

Akhirnya, si ibu yang harus menjadi superwoman, mengubah apapun jadi uang, agar anak-anak tetap makan. 

Kalau memang pemerintah berniat untuk memperbaiki perekonomian rakyatnya, mulailah dengan mencerdaskan kaum perempuannya. Berikan kesempatan mereka mendapatkan pendidikan dan meraih mimpinya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun